Selasa, 06 Februari 2018

PROSES MUTASI PADA TANAMAN CABAI UNTUK MEMPERCEPAT PEMBUNGAAN DENGAN PERENDAMAN ETHYL METHANESULFONATE

PROSES MUTASI PADA TANAMAN CABAI UNTUK MEMPERCEPAT PEMBUNGAAN DENGAN PERENDAMAN ETHYL METHANESULFONATE

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Genetika Dasar
Semester IV






Disusun Oleh :
Faisal Ari Kusdinia      (4122.1.15.11.0007)
Ilham Pratama Priatna  (4122.1.15.11.0012)
Rahma Winahyu Adi    (4122.1.15.11.0020)




UNIVERSITAS WINAYA MUKTI
JURUSAN AGROTEKNOLOGI
TANJUNGSARI
2017

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan izin-Nya penyusun dapat menyelesaikan makalah Proses Mutasi Pada Tanaman Cabai Untuk Mempercepat Pembungaan Dengan Perendaman Ethyl Methanesulfonateini pada waktu yang telah ditentukan. Makalah ini berisi tentang penjelasan mengenai bagaimana proses mutasi dari tanaman cabai merah yang diinginkan menghasilkan tanaman cabai merah yang baik. Selain itu, makalah ini berisi tentang bagaimana ethil methansulfonat dapat bekerja dalam memutasi suatu gen tanaman.
Penyusunan makalah ini merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai tugas dari dosen pengajar mata kuliah Genetika Dasar.  Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas mengenai Proses Mutasi Pada Tanaman Cabai Untuk Mempercepat Pembungaan Dengan Perendaman Ethyl Methanesulfonate khususnya bagi penyusun dan pada umumnya bagi pembaca (Mahasiswa FAPERTA UNWIM).
Tidak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada Dosen Pengajar mata kuliah Genetika Dasar sehingga dengan penyusunan makalah ini dapat menunjang kegiatan pembelajaran serta dapat menambah wawasan penyusun selaku mahasiswa. Penyusun menyadari bahwa penyusunan makalah ini belum dapat dikatakan sempurna. Oleh karena itu penyusun memohon kritik dan sarannya dari pembaca yang bersifat membangun agar penyusunan makalah selanjutnya dapat lebih baik serta mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan dari penyusunan makalah ini.

Tanjungsari, 01 Juni 2017
Tim Penyusun


DAFTAR ISI



BAB I

PENDAHULUAN

1.1         Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan sumber daya alamnya baik di daratan maupun di peraiaran. Indonesia memiliki banyak sumber daya alam yang dikelola  oleh manusia, terutama pengelolaan terhadap tanaman dan hewan yang akan menunjang kelangsungan hidup manusia terhadap sandang, pangan dan papan. Kegiatan pengelolaan manusia terhadap tanaman merupakan suatu upaya untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan manusia.
Banyak sekali tanaman yang dikelola oleh manusia, seperti tanaman perkebunan, hortikultura, pangan, bahkan tanaman hutan. Masyarakat Indonesia yang pada umumnya berprofesi sebagai petani banyak yang membudidayakan tanaman hortikultura.
Salah satu contohnya yaitu tanaman cabai merah, dimana tanaman ini merupakan salah satu tanaman hortikultura yang tergolong dalam tanaman sayuran yang memiliki banyak manfaat serta disukai baik di Indonesia maupun di mancanegara.
Di Indonesia cabai termasuk komoditas hortikultura bernilai ekonomi yang dapat dikonsumsi baik sebagai rempah maupun untuk sayuran. Permintaan cabai di Indonesia diproyeksikan meningkat setiap tahunnya sehingga impor harus dilakukan jika produksi dalam negeri tidak dapat terpenuhi, di Indonesia cabai merah biasanya digunakan sebagai bumbu dapur, pelengkap masakan serta bisa juga sebagai obat, bahkan sebagai anti kanker (Satyanarayana, 2006).
Dilihat dari banyaknya minat konsumen akan cabai, menurut riset kementrian pertanian pada tahun 2017 kebutuhan konsumsi masyarakat akan cabai sebesar 68.000 ton/ tahun sedangkan produksi cabai di dalam negeri sekitar 50.000 ton/tahun. Hal ini membuat kegiatan impor cabai perlu dilakukan. Tidak terpenuhinya kebutuhan cabai di Indonesia membuat harga cabai meningkat mencapai harga Rp 100.000 hingga Rp 150.000 per kg dari harga awal sekitar Rp 30.000 per kg (BPS, 2011). 
Tidak terpenuhinya kebutuhan cabai di Indonesia dapat dipengaruhi oleh waktu pembungaan dan viabilitas serbuk sari yang lama yaitu sekitar 50-60 HST untuk tanaman cabai dan tentunya akan mempengaruhi waktu pemanenan buah cabai yaitu sekitar 3-4 bulan (Ir. Rukmana, 2002). Hal ini menyebabkan waktu panen buah cabai dalam setahun hanya dapat dilakukan sekitar 5-6 kali panen dalam satu tahun, dengan hasil yang belum tentu dapat memenuhi kebutuhan seluruh penduduk Indonesia.
Dari permasalahan tersebut, dapat dilihat bahwa petani memerlukan tanaman cabai yang memiliki umur panen yang genjah atau pendek sehingga dapat melakukan panen lebih cepat dan produksi buah cabai tetap baik dan lebih banyak sehingga dapat memenuhi kebutuhan pasar serta kebutuhan konsumen.
Untuk mendapatkan tanaman cabai yang berumur panen  genjah, para pemulia tanaman melakukan mutasi pada tanaman cabai yang dapat menyebabkan tanaman cabai menjadi berumur panen yang pendek dan tetap memiliki kualitas yang baik. Mutasi adalah salah satu kegiatan dalam pemuliaan tanaman yang menyebabkan perubahan susunan DNA akibat dari perlakuan dari faktor eksternal. Kegiatan mutasi ini dibagi kedalam dua macam, yaitu mutasi gen dan mutasi kromosom.
Perubahan pada tanaman seperti perubahan warna, perubahan sifat tanaman, dan perubahan waktu panen yang terjadi pada tanaman cabe yang dimutasi menjadi lebih cepat merupakan contoh dari hasil mutasi gen.
Menurut Chaidar Wiranto pada tahun 2011 mutasi gen adalah mutasi yang terjadi dalam lingkup gen. Peristiwa yang terjadi pada mutasi gen adalah perubahan urutan-urutan DNA. Pada cabai mutasi gen dapat menyebabkan peningkatkan variasi genetik secara fisiologi dan reproduksi melalui mutagenesis menggunakan senyawa kimia.
Senyawa kimia yang dapat digunakan sebagai mutagen kimia pada mutasi tanaman cabai adalah Ethyl Methane Sulfonate (EMS) yang merupakan senyawa kimia yang paling sering digunakan dalam penelitian mutasi induksi (Soeranto, 2003). Ethyl methane sulfonate juga merupakan senyawa alkil yang menyebabkan perubahan basa yaitu terjadinya delesi pasangan basa tertentu dalam kromosom (VanHarten, 1998). Melalui mutasi induksi cabai merah dengan senyawa kimia seperti EMS akan didapatkan suatu tanaman cabai merah yang nantinya diharapkan mampu memberikan solusi untuk meningkatkan produktifitasnya karena adanya waktu pembungaan dan viabilitas serbuk sari yang cepat dan selanjutnya akan mempercepat proses pemanenan buah cabai.

1.2         Maksud Dan Tujuan

Maksud dan tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui  proses mutasi yang terjadi pada tanaman cabai dengan menggunakan etil metan sulfonat sebagai mutagen, serta bagaimana pengaruhnya pada tanaman cabai. Sedangkan maksud dan tujuan dilakukannya mutasi gen pada tanaman cabai adalah untuk mempercepat pembungaan dan viabilitas serbuk sariyang selanjutnya akan mempercepat proses pemanenan buah cabai dan menunjang pula pada produktifitas cabai yang akan meningkat.

1.3         Manfaat

Proses mutasi dengan menggunakan mutagen Ethil Methansulfonate (EMS) bermenfaat untuk merubah sifat tanaman cabai yang memiliki umur panen yang panjang menjadi berumur pendek yang dapat menunjang peningkatan produktifitas tanaman cabai baik kualitas maupun kuantitasnyayag selanjutnya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan konsumen.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1         Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum L.)
Tanaman cabai (Capsicum annum  L) berasal dari dunia tropika dan subtropika Benua Amerika, khususnya Colombia, Amerika Selatan, dan terus menyebar ke Amerika Latin. Bukti budidaya cabai pertama kali ditemukan dalam tapak galian sejarah Peru dan sisaan biji yang telah berumur lebih dari 5000 tahun SM didalam gua di Tehuacan, Meksiko. Penyebaran cabai ke seluruh dunia termasuk negara-negara di Asia, seperti Indonesia dilakukan oleh pedagang Spanyol dan Portugis (Dermawan, 2010).
Di Indonesia, tanaman cabai hampir dapat ditanam diseluruh daerah serta terdapat banyak varietas tanaman cabai yang ditanam, beberapa diantaranya yaitu : cabai merah biasa, cabai merah keriting, cabai merah bandung dan cabai merah cakra. 
Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu jenis sayuran yang memilki nilai ekonomi yang tinggi.Cabai atau lombok termasuk dalam suku terong-terongan (Solanaceae) dan merupakan tanaman yang mudah ditanam di dataran rendah ataupun di dataran tinggi. Tanaman cabai diperbanyak melalui biji yang ditanam dari tanaman yang sehat serta bebas dari hama dan penyakit.Cabai merah merupakan salah satu sayuran yang memiliki banyak manfaat serta banyak disukai baik di Indonesia maupun di mancanegara.
Buah cabai juga memiliki kandungan gizi yang banyak, diantaranya : vitamin A, vitamin B1, vitamin C, kalori, protein, lemak, kalsium, karbohidrat, fosfor, dan besi. Selain sebagai bumbu masakan, buah cabai dapat dimanfaatkan sebagai ramuan obat tradisional, bahan campuran pada industri makanan, obat-obatan dan pakan ternak. Selain itu, buah cabai mengandung minyak atsiri yaitu kapsikol yang dapat dimanfaatkan untuk menggantikan fungsi minyak kayu putih. Kandungan bioflavonoids yang ada di dalam buah cabai dapat menyembuhkan radang paru-paru akibat udara dingin( Setiadi, 2006 ).
Cabai merah biasanya dipakai sebagai bumbu dapur dan pelengkap masakan, selain itu juga dimanfaatkan dalam bidang kesehatan sebagai campuran obat - obatan herbal bahkan sebagai anti kanker (Satyanarayana, 2006) dan kandungan kimia utama cabai merah yang bermanfaat sebagai obat adalah antioksidan, lasparaginase, dan capsaicin (Kilham, 2006).
2.2         Taksonomi Tanaman Cabai
Tanaman cabai merupakan tanaman sayuran yang berbentuk perdu dan berkayu serta termasuk ke dalam famili terong-terongan. Menurut Cronquist (1981),klasifikasi tanaman cabai merah adalah sebagai berikut :
Kerajaan          : Plantae
Divisi              : Magnoliophyta
Kelas               : Magnoliopsida
Anak Kelas     : Asteridae
Ordo               : Solanales
Famili              : Solanaceae
Genus              : Capsicum
Spesies            : Capsicum annuumL.
2.3         Morfologi Tanaman Cabai
1.    Akar
Tanaman cabai termasuk ke dalam tanaman dikotik yang memiliki akar tunggang yang menusuk ke dalam tanah untuk mendapatkan unsur hara. Sistem perakaran. tanaman cabai agak menyebar, panjangnya berkisar 25-35 cm. Akar ini berfungsi antara lain menyerap air dan zat makanan dari dalam tanah, serta menguatkan berdirinya batang tanaman. Sedangkan menurut (Tjahjadi, 1991) akar tanaman cabai tumbuh tegak lurus ke dalam tanah, berfungsi sebagai penegak pohon yang memiliki kedalaman ± 200 cm serta berwarna coklat. Dari akar tunggang tumbuh akar- akar cabang, akar cabang tumbuh horisontal didalam tanah, dari akar cabang tumbuh akar serabut yang berbentuk kecil- kecil dan membentuk masa yang rapat.
2.    Batang
Batang utama cabai menurut (Hewindati, 2006) tegak dan pangkalnya berkayu dengan panjang 20-28 cm dengan diameter 1,5-2,5 cm. Batang tanaman cabai merupakan batang yang akan berkambium karena termasuk tanaman dikotil yang berkayu. Dimana batang tanaman cabai berwarna hijau muda lalu hijau tua dan setelah berkambium akan berubah menjadi coklat sampai coklat tua. Batang tanaman cabai umumnya kokoh dan tidak mudah patah.
Menurut (Tjahjadi, 1991) tanaman cabai berbatang tegak yang bentuknya bulat. Tanaman cabai dapat tumbuh setinggi 50-150 cm, merupakan tanaman perdu yang warna batangnya hijau dan beruas-ruas yang dibatasi dengan buku-buku yang panjang tiap ruas 5-10 cm dengan diameter data 5-2 cm.
3.    Daun
Tanaman ini berbentuk perdu yang tingginya mencapai 1,5 – 2 m dan lebar tajuk tanaman dapat mencapai 1,2 m.  Menurut (Hewindati, 2006), daun cabai berbentuk memanjang oval dengan ujung meruncing atau diistilahkan dengan oblongus acutus, tulang daun berbentuk menyirip dilengkapi urat daun. Bagian permukaan daun bagian atas berwarna hijau tua, sedangkan bagian permukaan bawah berwarna hijau muda atau hijau terang.
Panjang daun berkisar 9-15 cm dengan lebar 3,5-5 cm. Selain itu daun cabai merupakan Daun tunggal, bertangkai (panjangnya 0,5-2,5 cm), letak tersebar. Helaian daun bentuknya bulat telur sampai elips, ujung runcing, pangkal meruncing, tepi rata, petulangan menyirip, panjang 1,5-12 cm, lebar 1-5 cm, berwarna hijau.
Daun cabai pada umumnya berwarna hijau cerah pada saat masih muda dan akan berubah menjadi hijau gelap bila daun sudah tua. Daun cabai ditopang oleh tangkai daun yang mempunyai tulang menyirip.  Bentuk daun umumnya bulat telur, lonjong dan oval dengan ujung runcing (Prabowo, 2011).
4.    Bunga
Menurut (Hendiwati, 2006), bunga tanaman cabai berbentuk terompet kecil, umumnya bunga cabai berwarna putih, tetapi ada juga yang berwarna ungu. Cabai berbunga sempurna dengan benang sari yang lepas tidak berlekatan. Disebut berbunga sempurna karena terdiri atas tangkai bunga, dasar bunga, kelopak bunga, mahkota bunga, alat kelamin jantan dan alat kelamin betina.  Bunga cabai merupakan bunga sempurna dan berwarna putih bersih, bentuk buahnya berbeda- beda menurut jenis dan varietasnya (Tindall, 1983).
Sedangkan menurut (Anonima, 2007) bunga cabai merupakan bunga tunggal, berbentuk bintang, berwarna putih, keluar dari ketiak daun. Menurut (Tjahjadi, 2010) menyebutkan bahwa posisi bunga cabai menggantung. Warna mahkota putih, memiliki kuping sebanyak 5-6 helai, panjangnya 1-1,5 cm, lebar 0,5 cm, warna kepala putik kuning.
5.    Biji
Bijinya kecil, bulat pipih seperti ginjal dan berwarna kuning kecoklatan (Sunaryono,2003). 
6.    Buah
Buah cabai menurut (Anonimc, 2010), buahnya buah buni berbentuk kerucut memanjang, lurus atau bengkok, meruncing pada bagian ujungnya, menggantung, permukaan licin mengkilap, diameter 1-2 cm, panjang 4-17 cm, bertangkai pendek, rasanya pedas. mempunyai 2-3 ruang yang berbiji banyak. Buah yang telah tua (matang) umumnya berwarna kuning sampai merah dengan aroma yang berbeda sesuai dengan varietasnya.  Buah cabai memiliki rasa pedas yang dapat meningkatkan selera makan. Selain itu, buah cabai memiliki banyak kandungan gizi dan vitamin, diantaranya kalori, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, vitamin A, B1 dan vitamin C (Prayudi, 2010).
2.4         Mutasi
Mutasi berasal dari kata Mutatus (bahasa latin) yang artinya adalah perubahan. mutasi didefenisikan sebagai perubahan materi genetic (DNA) yang dapat diwariskan secara genetis keketurunannya. Istilah mutasi petama kali digunakan oleh Hugo de Vries, untuk mengemukakan adanya perubahan fenotipe yang mendadak pada bunga Oenothera lamarckiana dan bersifat menurun. Ternyata perubahan tersebut terjadi karena adanya penyimpangan dari kromosomnya.
Mutasi adalah perubahan pada materi genetik suatu makhluk yang terjadi secara tiba-tiba, acak, dan merupakan dasar bagi sumber variasi organisme hidup yang bersifat terwariskan (heritable). Mutasi juga dapat diartikan sebagai perubahan struktural atau komposisi genom suatu jasad yang dapat terjadi karena faktor luar (mutagen) atau karena kesalahan replikasi. Peristiwa terjadinya mutasi disebut mutagenesis. Makhluk hidup yang mengalami mutasi disebut mutan dan factor penyebab mutasi disebut mutagen (mutagenic agent).
Mutasi terdiri dari 2 macam, yaitu mutasi gen dan mutasi kromosom. Mutasi gen merupakan perubahan yang terjadi pada nukleutida DNA yang membawa suatu gen tertentu. Sedangkan mutasi kromosom yaitu mutasi yang disebabkan karena perubahan struktur kromosom atau perubahan jumlah kromosom. Mutasi kromosom sering terjadi karena kesalahan pada meiosis maupun pada mitosis.
2.5         Bahan Mutasi
a.    Bahan Mutasi Kimia
Bahan mutagen yang sering digunakan dalam penelitian pemuliaan tanaman yaitu mutagen kimia, misalnya Ethyl Methane Sulphonate (EMS), Diethyl Sulphate (DES), Methyl Methane Sulphonate (MMS), nitrous acids dan sebagainya (IAEA 1977). Dari beberapa mutagen kimia tersebut EMS paling banyak digunakan karena sering menghasilkan mutan yang bermanfaat dan tidak bersifat mutagenik setelah terhidrolisis (Van Harten 1998).
b.   Bahan Mutasi Alami
Bahan mutasi alami adalah bahan yang bersumber dari hasil alam, seperti sinar gamma, daya panas, pemberian sinar UV bahkan petir yang dapat menyebabkan perubahan genetika pada tanaman atau makhluk hidup lainnya.
Dan bahan mutasi yang digunakan dalam proses mutasi ini, diantaranya :
1.    Etil metanasulfonat (EMS)
Etil metanasulfonat (EMS) adalah senyawa organikmutagenik, teratogenik, dan mungkin karsinogenik dengan formula C3H8SO3. EMS sering digunakan dalam genetika sebagai mutagen. Ethyl Methane Sulfonate (EMS) yang merupakan senyawa kimia yang paling sering digunakan dalam penelitian mutasi induksi (Soeranto, 2003) yang mampu melakukan delesi basa pada kromosom.
2.    Buffer Phosphate pH 7
Buffer merupakan larutan penyangga yang dihasilkan dari proses pencampuran antara  2 zat yaitu monosodium phosphate dan disodium phosphate.
Dalam proses mutasi pada tanaman cabai dalam makalah ini digunakan EMS 1% yang dilarutkan kedalam buffer phosphate pH 7. Selain itu, dalam proses mutasi ini diperlukan air untuk merendam benih dalam proses imbibisi air.
2.6         Metode Aplikasi
Ethyl Methanesulfonate 1% disiapkan dengan melarutkan dalam buffer phosphate pH 7. Pada jurnal pengujian yang ditemukan, benih cabai direndam dalam air selama 6 jam untuk proses imbibisi, selanjutnya dilakukan beberapa perlakuan pada benih, benih cabai direndam dalam EMS konsentrasi 1% selama  6, 9, 12 dan 15 jam pada suhu ruang dan kontrol direndam dalam buffer phosphate pH 7. Benih disemai dalam bumbungan, dan setelah bibit berusia 21 hari dipindah ke bedengan. Pengamatan dilakukan terhadap karakter reproduktif yaitu umur tanaman mulai berbunga dan viabilitas serbuk sari cabai merah.


BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1         Parameter Yang Diamati
Perubahan mutasi yang terjadi pada tanaman cabai dengan menggunakan mutagen kimia yaitu Ethil Methan Sulfonate (EMS) mempengaruhi pertumbuhan serta perkembangan tanaman cabai yang menyebabkan terjadinya perubahan yang dapat terlihat pada parameter yang diamati khususnya proses pembungaan dan viabilitas serbuk sari, yaitu sebagai berikut :
Perlakuan perendaman biji cabai merah (Capsicum Annuum L.) dengan mengunakan Etil Metil Sulfhonat 1% menunjukkan hasil yang berbeda-beda setiap perlakuannya salah satunya hari dimana tanaman berbunga untuk pertama kali.
Tabel 1. Umur Tanaman Cabai Merah Saat Mulai Berbunga pada Berbagai Lama Waktu Perendaman EMS 1%
Perlakuan
Umur pertama tanaman berbunga
EMS 1% 6 Jam
35 Hari
EMS 1% 9 Jam
35 Hari
EMS 1% 12 jam
53 Hari
EMS 1% 15 jam
53 Hari

Perlakuan dengan larutan EMS 1% selama 6 jam dan 9 jam menghasilkan tanaman cabai dengan rata-rata berbunga paling cepat yaitu 35 hari. Sedangkan, perlakukan dengan EMS 1%  selama 12 jam dan 15 jam tidak meyebabkan perubahan pada umur tanaman saat munculnya bunga. Mutagen dapat merubah hari berbunga dan berbuah pada tanaman (Nahiyan et al., 2014). Menurut Nasare & Choudhary (2011) tanaman yang diberi perlakuan mutagen yang mulai berbunga 15 – 20 hari sebelum control tergolong tanaman early flowering. Penelitian lain untuk hari berbunga lebih awal juga dilaporkan pada tanaman Lathyrus stativus L. (Kumar & Dubey, 1998; Girhe & Choudhary, 2002). Temuan ini menunjukkan bahwa EMS dapat mengubah hari untuk berbunga menjadi lebih awal.
Seperti halnya umur tanaman saja yang menunjukan hasil yang berbeda-beda, perendaman biji cabai merah dengan konsentrasi EMS 1% terhadap kematangan serbuk sari tanaman cabai merah menunjukkan hasil yang berbeda-beda pula.
Tabel 2. Rata-Rata ViabilitasSerbuk Sari
Perlakuan
KematanganSerbuk Sari
EMS 1% 6 Jam
93%
EMS 1% 9 jam
89%
EMS 1% 12 jam
99%
EMS 1% 15 jam
93%

Perlakuan perendaman biji cabai dengan EMS 1% selama 12 jam menghasilkan tanaman dengan viabilitas serbuk sari paling tinggi yaitu sebesar 99%. Sedangkan tanaman dengan perlakuan perendaman biji cabai dengan EMS 1% selama 9 jam menghasilkan tanaman dengan viabilitas/ kematangan serbuk sari paling rendah yaitu sebesar 89%.
3.2         Pembahasan
Ethil methan sulfonate merupakan senyawa yang banyak digunakan untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman dan perbaikan kualitas tanaman. Keberhasilan mutasi pada tiap tanaman tergantung pada konsentrasi dan lama perendaman yang digunakan (Yanti 2007).
Mutagen kimia Ethyl Methanesulfonate (EMS) merupakan senyawa kimia yang paling sering digunakan dalam penelitian mutasi induksi (Soeranto, 2003). Ethyl methanesulfonate merupakan senyawa alkil yang menyebabkan perubahan basa yaitu terjadinya delesi pasangan basa tertentu dalam kromosom (VanHarten, 1998).


Hasil yang didapatkan dari proses mutasi tersebut yaitu adanya perubahan sifat fisiologis pada tanaman cabai, yaitu tumbuhnya bunga yang cepat dan peningkatan viabilitas serbuk sari yang menunjang pula pada cepatnya waktu proses pemanenan.
Namun terdapat peningkatan dan penurunan viabilitas/kematangan serbuk sari pada perlakuan perendaman EMS 1% dengan waktu perendaman yang berbeda, hal ini dapat dikaitkan dengan EMS sebagai mutagen dapat menghambat dan meningkatkan viabilitas/kematangan serbuk sari dengan mengacaukan susunan enzim dan hormon yang merangsang pembentukan serbuk sari pada lama perendaman tertentu, dosis mutagen juga sangat berpengaruh terhadap kondisi serbuk sari sehingga serbuk sari yang dihasilkan dapat menjadi steril ataupun fertil yang akhirnya mempengaruhi peningkatan dan penurunan viabilitas serbuk sari (Pathak et al., 1983).


BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1         Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari proses mutasi yang dihasilkan, yaitu  tanaman cabai merah mengalami mutasi gen, yang menyebabkan perubahan umur panen menjadi lebih pendek karena proses pembungaan (35 hari) dan viabilitas serbuk sari (93%) berlangsung lebih cepat terutama pada perlakuan perendaman benih cabai dengan ethil methan sulfonat selama 6 jam. Untuk viabilitas serbuk sari masih terdapat hasil yang lebih tinggi, yaitu pada perlakuan perendaman benih selama 12 jam namun pada proses pembungaannya termasuk membutuhkan waktu yang lama, yaitu 53 hari seperti pada perlakuan kontrol. Oleh karena itu dengan pemberian perendaman Ethil Methan Sulfonate (EMS) dapat membuat tanaman cabai menjadi berumur genjah/pendek.
4.2         Saran
Dalam penggunaan EMS perlu adanya ketelitian dan ketepatan dosis yang digunakan, karena bila dosis lebih ataupun kurang (tidak tepat) akan menghasilkan hasil yang berbeda begitu pula dengan waktu perendaman.


DAFTAR PUSTAKA

Anonima. 2007. Cabai Merah. http://id.wikipedia.org/wiki/Cabai. Diakses pada
tanggal 03 Mei 2010.
Anonimc.2010. Budidaya Cabai Hibrida. http://www.tanindo.com/budidaya/
cabe/cabehibrida.htm. Diakses pada tanggal 03 Mei 2010.
BPS. 2011. Laporan ringkas studi cabai. Laporan bulanan data sosial ekonomi. Edisi 9. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Girhe, S. & A.D. Choudhary. 2002. Induced morphological mutants in Lathyrus stativus. Journal Cytology and Genetics. 3: 1-6.
Hewindati, Yuni Tri dkk. 2006. Hortikultura. Universitas Terbuka. Jakarta.
Kilham, C. 2006. Chiles, The Hottest Health Promoters. [on line] http:// www.medicinehunter.com.
Kumar, S. & D.K. Dubey, 1998, Induced morphological mutations in Lathyrus stativus L. Journal Cytology and Genetics., 33:131- 137.
Nahiyan, A.S.M., L. Rahman, S. Raiyan, H. Mehraj, & A.F.M. Jamal Uddin. 2014. Selection of EMS Induced Tomato Variants Through Tilling for Point Mutation. Bangladesh Research Publications Journal. 10 (2): 214- 222.
Nasare, P.N., & A.D. Choudhary. 2011. Early Flowering and High Yielding Mutants In Ocimum sanctum Linn. Indian Streams Reseach Journal. 1(3): 202-204.
Pathak, C.S., D.P. Singh, & A.A. Deshpande. 1983. Male and female sterility in hot pepper (Capsicum annuum L.). Capsicum Newsletter. 97-98.
Satyanarayana, M.N. 2006. Capsaicin and gastric ulcers. Critical Reviews in Food Science and Nutrition 46: 275-328.
Soeranto, H. 2003. Peran Iptek nuklir dalam pemuliaan tanaman untuk mendukung industri pertanian. Puslitbang Teknologi Isotop dan Radiasi. Jakarta: Badan Tenaga Nuklir Nasional.
Tjahjadi, Nur. 1991. Bertanam Cabai. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
VanHarten, A.M. 1998. Mutation Breeding: Theory and Practical Application. New York: Cambridge University Press.
Wiranto, Chaidar. 2011. Mutasi.
Yanti Y (2007) Morphologycal variation planlet “Raja Sereh” banana treatments of ethyl methane sulphonate muthagen through in vitro. The Third Asian Conference on Plant Pathology. Yogyakarta.


LAMPIRAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar