PROSES MUTASI
PADA TANAMAN CABAI UNTUK MEMPERCEPAT PEMBUNGAAN DENGAN PERENDAMAN ETHYL
METHANESULFONATE
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Genetika
Dasar
Semester
IV
Disusun
Oleh :
Faisal
Ari Kusdinia (4122.1.15.11.0007)
Ilham
Pratama Priatna (4122.1.15.11.0012)
Rahma
Winahyu Adi (4122.1.15.11.0020)
UNIVERSITAS
WINAYA MUKTI
JURUSAN
AGROTEKNOLOGI
TANJUNGSARI
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur
penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan izin-Nya penyusun
dapat menyelesaikan makalah Proses Mutasi Pada Tanaman Cabai Untuk Mempercepat
Pembungaan Dengan Perendaman Ethyl Methanesulfonateini
pada waktu yang telah ditentukan. Makalah ini berisi tentang penjelasan
mengenai bagaimana proses mutasi dari tanaman cabai merah yang diinginkan
menghasilkan tanaman cabai merah yang baik. Selain itu, makalah ini berisi
tentang bagaimana ethil methansulfonat dapat bekerja dalam memutasi suatu gen
tanaman.
Penyusunan makalah
ini merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai tugas dari dosen
pengajar mata kuliah Genetika Dasar.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas mengenai Proses Mutasi Pada
Tanaman Cabai Untuk Mempercepat Pembungaan Dengan Perendaman Ethyl
Methanesulfonate khususnya bagi penyusun dan pada umumnya
bagi pembaca (Mahasiswa FAPERTA UNWIM).
Tidak lupa penyusun
ucapkan terima kasih kepada Dosen Pengajar mata kuliah Genetika Dasar sehingga
dengan penyusunan makalah ini dapat menunjang kegiatan pembelajaran serta dapat
menambah wawasan penyusun selaku mahasiswa. Penyusun menyadari bahwa penyusunan
makalah ini belum dapat dikatakan sempurna. Oleh karena itu penyusun memohon
kritik dan sarannya dari pembaca yang bersifat membangun agar penyusunan
makalah selanjutnya dapat lebih baik serta mohon maaf atas segala kekurangan
dan kesalahan dari penyusunan makalah ini.
Tanjungsari, 01 Juni 2017
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan sumber daya alamnya
baik di daratan maupun di peraiaran. Indonesia memiliki banyak sumber daya alam
yang dikelola oleh manusia, terutama
pengelolaan terhadap tanaman dan hewan yang akan menunjang kelangsungan hidup
manusia terhadap sandang, pangan dan papan. Kegiatan pengelolaan manusia
terhadap tanaman merupakan suatu upaya untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan
manusia.
Banyak sekali tanaman yang dikelola oleh manusia, seperti tanaman
perkebunan, hortikultura, pangan, bahkan tanaman hutan. Masyarakat Indonesia
yang pada umumnya berprofesi sebagai petani banyak yang membudidayakan tanaman
hortikultura.
Salah satu contohnya yaitu tanaman cabai merah, dimana tanaman ini merupakan
salah satu tanaman hortikultura yang tergolong dalam tanaman sayuran yang
memiliki banyak manfaat serta disukai baik di Indonesia maupun di mancanegara.
Di Indonesia cabai termasuk komoditas hortikultura bernilai ekonomi yang
dapat dikonsumsi baik sebagai rempah maupun untuk sayuran. Permintaan cabai di
Indonesia diproyeksikan meningkat setiap tahunnya sehingga impor harus
dilakukan jika produksi dalam negeri tidak dapat terpenuhi, di Indonesia cabai
merah biasanya digunakan sebagai bumbu dapur, pelengkap masakan serta bisa juga
sebagai obat, bahkan sebagai anti kanker (Satyanarayana, 2006).
Dilihat dari banyaknya minat konsumen akan cabai, menurut riset
kementrian pertanian pada tahun 2017 kebutuhan konsumsi masyarakat akan cabai
sebesar 68.000 ton/ tahun sedangkan produksi cabai di dalam negeri sekitar
50.000 ton/tahun. Hal ini membuat kegiatan impor cabai perlu dilakukan. Tidak
terpenuhinya kebutuhan cabai di Indonesia membuat harga cabai meningkat
mencapai harga Rp 100.000 hingga Rp 150.000 per kg dari harga awal sekitar Rp
30.000 per kg (BPS, 2011).
Tidak terpenuhinya kebutuhan
cabai di Indonesia dapat dipengaruhi oleh waktu pembungaan dan viabilitas
serbuk sari yang lama yaitu sekitar 50-60 HST untuk tanaman cabai dan tentunya
akan mempengaruhi waktu pemanenan buah cabai yaitu sekitar 3-4 bulan (Ir. Rukmana,
2002). Hal ini menyebabkan waktu panen buah cabai dalam setahun hanya dapat dilakukan
sekitar 5-6 kali panen dalam satu tahun, dengan hasil yang belum tentu dapat
memenuhi kebutuhan seluruh penduduk Indonesia.
Dari permasalahan tersebut,
dapat dilihat bahwa petani memerlukan tanaman cabai yang memiliki umur panen yang
genjah atau pendek sehingga dapat melakukan panen lebih cepat dan produksi buah
cabai tetap baik dan lebih banyak sehingga dapat memenuhi kebutuhan pasar serta
kebutuhan konsumen.
Untuk mendapatkan tanaman cabai
yang berumur panen genjah, para pemulia
tanaman melakukan mutasi pada tanaman cabai yang dapat menyebabkan tanaman
cabai menjadi berumur panen yang pendek dan tetap memiliki kualitas yang baik.
Mutasi adalah salah satu kegiatan dalam pemuliaan tanaman yang menyebabkan
perubahan susunan DNA akibat dari perlakuan dari faktor eksternal. Kegiatan
mutasi ini dibagi kedalam dua macam, yaitu mutasi gen dan mutasi kromosom.
Perubahan pada tanaman seperti
perubahan warna, perubahan sifat tanaman, dan perubahan waktu panen yang terjadi
pada tanaman cabe yang dimutasi menjadi lebih cepat merupakan contoh dari hasil
mutasi gen.
Menurut Chaidar Wiranto pada
tahun 2011 mutasi gen adalah mutasi yang terjadi dalam lingkup gen. Peristiwa
yang terjadi pada mutasi gen adalah perubahan urutan-urutan DNA. Pada cabai
mutasi gen dapat menyebabkan peningkatkan variasi genetik secara fisiologi dan
reproduksi melalui mutagenesis menggunakan senyawa kimia.
Senyawa kimia yang dapat digunakan sebagai mutagen kimia pada mutasi
tanaman cabai adalah Ethyl Methane Sulfonate (EMS) yang merupakan senyawa kimia
yang paling sering digunakan dalam penelitian mutasi induksi (Soeranto, 2003).
Ethyl methane sulfonate juga merupakan senyawa alkil yang menyebabkan perubahan
basa yaitu terjadinya delesi pasangan basa tertentu dalam kromosom (VanHarten, 1998).
Melalui mutasi induksi cabai merah dengan senyawa kimia seperti EMS akan
didapatkan suatu tanaman cabai merah yang nantinya diharapkan mampu memberikan
solusi untuk meningkatkan produktifitasnya karena adanya waktu pembungaan dan
viabilitas serbuk sari yang cepat dan selanjutnya akan mempercepat proses
pemanenan buah cabai.
1.2 Maksud Dan Tujuan
Maksud
dan tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui proses mutasi yang terjadi pada tanaman cabai
dengan menggunakan etil metan sulfonat sebagai mutagen, serta bagaimana pengaruhnya
pada tanaman cabai. Sedangkan maksud dan tujuan dilakukannya mutasi gen pada
tanaman cabai adalah untuk mempercepat pembungaan dan viabilitas serbuk sariyang
selanjutnya akan mempercepat proses pemanenan buah cabai dan menunjang pula
pada produktifitas cabai yang akan meningkat.
1.3 Manfaat
Proses
mutasi dengan menggunakan mutagen Ethil Methansulfonate (EMS) bermenfaat untuk merubah
sifat tanaman cabai yang memiliki umur panen yang panjang menjadi berumur
pendek yang dapat menunjang peningkatan produktifitas tanaman cabai baik
kualitas maupun kuantitasnyayag selanjutnya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
konsumen.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum L.)
Tanaman cabai (Capsicum annum L)
berasal dari dunia tropika dan subtropika Benua Amerika, khususnya Colombia,
Amerika Selatan, dan terus menyebar ke Amerika Latin. Bukti budidaya cabai
pertama kali ditemukan dalam tapak galian sejarah Peru dan sisaan biji yang
telah berumur lebih dari 5000 tahun SM didalam gua di Tehuacan, Meksiko.
Penyebaran cabai ke seluruh dunia termasuk negara-negara di Asia, seperti
Indonesia dilakukan oleh pedagang Spanyol dan Portugis (Dermawan, 2010).
Di Indonesia, tanaman cabai hampir dapat ditanam diseluruh daerah serta
terdapat banyak varietas tanaman cabai yang ditanam, beberapa diantaranya yaitu
: cabai merah biasa, cabai merah keriting, cabai merah bandung dan cabai merah
cakra.
Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu jenis sayuran
yang memilki nilai ekonomi yang tinggi.Cabai atau lombok termasuk dalam suku terong-terongan (Solanaceae) dan merupakan tanaman yang mudah
ditanam di dataran rendah ataupun di dataran tinggi. Tanaman cabai diperbanyak melalui biji yang ditanam dari tanaman yang
sehat serta bebas dari hama dan penyakit.Cabai merah merupakan salah satu
sayuran yang memiliki banyak manfaat serta banyak disukai baik di Indonesia
maupun di mancanegara.
Buah cabai juga memiliki kandungan gizi yang banyak, diantaranya : vitamin
A, vitamin B1, vitamin C, kalori, protein, lemak, kalsium, karbohidrat, fosfor,
dan besi. Selain sebagai bumbu masakan, buah cabai dapat dimanfaatkan sebagai
ramuan obat tradisional, bahan campuran pada industri makanan, obat-obatan dan
pakan ternak. Selain itu, buah cabai mengandung minyak atsiri yaitu kapsikol
yang dapat dimanfaatkan untuk menggantikan fungsi minyak kayu putih. Kandungan
bioflavonoids yang ada di dalam buah cabai dapat menyembuhkan radang paru-paru
akibat udara dingin( Setiadi, 2006 ).
Cabai merah biasanya dipakai sebagai bumbu dapur dan pelengkap masakan,
selain itu juga dimanfaatkan dalam bidang kesehatan sebagai campuran obat - obatan
herbal bahkan sebagai anti kanker (Satyanarayana, 2006) dan kandungan kimia
utama cabai merah yang bermanfaat sebagai obat adalah antioksidan,
lasparaginase, dan capsaicin (Kilham, 2006).
2.2
Taksonomi Tanaman Cabai
Tanaman cabai merupakan tanaman sayuran yang berbentuk perdu dan berkayu
serta termasuk ke dalam famili terong-terongan. Menurut Cronquist (1981),klasifikasi
tanaman cabai merah adalah sebagai berikut :
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Anak Kelas : Asteridae
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae
Genus : Capsicum
Spesies : Capsicum annuumL.
2.3
Morfologi Tanaman Cabai
1. Akar
Tanaman
cabai termasuk ke dalam tanaman dikotik yang memiliki akar tunggang yang
menusuk ke dalam tanah untuk mendapatkan unsur hara. Sistem perakaran. tanaman cabai agak
menyebar, panjangnya berkisar 25-35 cm. Akar ini berfungsi antara lain menyerap
air dan zat makanan dari dalam tanah, serta menguatkan berdirinya batang
tanaman. Sedangkan menurut (Tjahjadi, 1991) akar tanaman cabai tumbuh tegak
lurus ke dalam tanah, berfungsi sebagai penegak pohon yang memiliki kedalaman ±
200 cm serta berwarna coklat. Dari akar tunggang tumbuh akar- akar cabang, akar
cabang tumbuh horisontal didalam tanah, dari akar cabang tumbuh akar serabut
yang berbentuk kecil- kecil dan membentuk masa yang rapat.
2. Batang
Batang
utama cabai menurut (Hewindati, 2006) tegak dan pangkalnya berkayu dengan
panjang 20-28 cm dengan diameter 1,5-2,5 cm. Batang tanaman cabai merupakan batang yang akan
berkambium karena termasuk tanaman dikotil yang berkayu. Dimana batang tanaman
cabai berwarna hijau muda lalu hijau tua dan setelah berkambium akan berubah
menjadi coklat sampai coklat tua. Batang tanaman cabai umumnya kokoh dan tidak
mudah patah.
Menurut
(Tjahjadi, 1991) tanaman cabai berbatang tegak yang bentuknya bulat. Tanaman
cabai dapat tumbuh setinggi 50-150 cm, merupakan tanaman perdu yang warna
batangnya hijau dan beruas-ruas yang dibatasi dengan buku-buku yang panjang
tiap ruas 5-10 cm dengan diameter data 5-2 cm.
3. Daun
Tanaman
ini berbentuk perdu yang tingginya mencapai 1,5 – 2 m dan lebar tajuk tanaman
dapat mencapai 1,2 m. Menurut (Hewindati, 2006), daun
cabai berbentuk memanjang oval dengan ujung meruncing atau diistilahkan dengan
oblongus acutus, tulang daun berbentuk menyirip dilengkapi urat daun. Bagian
permukaan daun bagian atas berwarna hijau tua, sedangkan bagian permukaan bawah
berwarna hijau muda atau hijau terang.
Panjang
daun berkisar 9-15 cm dengan lebar 3,5-5 cm. Selain itu daun cabai merupakan
Daun tunggal, bertangkai (panjangnya 0,5-2,5 cm), letak tersebar. Helaian daun
bentuknya bulat telur sampai elips, ujung runcing, pangkal meruncing, tepi
rata, petulangan menyirip, panjang 1,5-12 cm, lebar 1-5 cm, berwarna hijau.
Daun
cabai pada umumnya berwarna hijau cerah pada saat masih muda dan akan berubah
menjadi hijau gelap bila daun sudah tua. Daun cabai ditopang oleh tangkai daun
yang mempunyai tulang menyirip. Bentuk
daun umumnya bulat telur, lonjong dan oval dengan ujung runcing (Prabowo,
2011).
4. Bunga
Menurut
(Hendiwati, 2006), bunga tanaman cabai berbentuk terompet kecil, umumnya bunga
cabai berwarna putih, tetapi ada juga yang berwarna ungu. Cabai berbunga
sempurna dengan benang sari yang lepas tidak berlekatan. Disebut berbunga
sempurna karena terdiri atas tangkai bunga, dasar bunga, kelopak bunga, mahkota
bunga, alat kelamin jantan dan alat kelamin betina. Bunga
cabai merupakan bunga sempurna dan berwarna putih bersih, bentuk buahnya
berbeda- beda menurut jenis dan varietasnya (Tindall, 1983).
Sedangkan
menurut (Anonima, 2007) bunga cabai merupakan bunga tunggal, berbentuk bintang,
berwarna putih, keluar dari ketiak daun. Menurut (Tjahjadi, 2010) menyebutkan
bahwa posisi bunga cabai menggantung. Warna mahkota putih, memiliki kuping
sebanyak 5-6 helai, panjangnya 1-1,5 cm, lebar 0,5 cm, warna kepala putik
kuning.
5. Biji
Bijinya
kecil, bulat pipih seperti ginjal dan berwarna kuning kecoklatan (Sunaryono,2003).
6. Buah
Buah
cabai menurut (Anonimc, 2010), buahnya buah buni berbentuk kerucut memanjang,
lurus atau bengkok, meruncing pada bagian ujungnya, menggantung, permukaan
licin mengkilap, diameter 1-2 cm, panjang 4-17 cm, bertangkai pendek, rasanya
pedas. mempunyai 2-3 ruang yang berbiji banyak. Buah yang telah tua
(matang) umumnya berwarna kuning sampai merah dengan aroma yang berbeda sesuai
dengan varietasnya. Buah cabai memiliki
rasa pedas yang dapat meningkatkan selera makan. Selain itu, buah cabai
memiliki banyak kandungan gizi dan vitamin, diantaranya kalori, protein, lemak,
karbohidrat, kalsium, vitamin A, B1 dan vitamin C (Prayudi, 2010).
2.4
Mutasi
Mutasi
berasal dari kata Mutatus (bahasa latin) yang artinya adalah perubahan. mutasi
didefenisikan sebagai perubahan materi genetic (DNA) yang dapat diwariskan
secara genetis keketurunannya. Istilah mutasi petama kali digunakan oleh Hugo
de Vries, untuk mengemukakan adanya perubahan fenotipe yang mendadak pada bunga
Oenothera lamarckiana dan bersifat menurun. Ternyata perubahan tersebut terjadi
karena adanya penyimpangan dari kromosomnya.
Mutasi
adalah perubahan pada materi genetik suatu makhluk yang terjadi secara
tiba-tiba, acak, dan merupakan dasar bagi sumber variasi organisme hidup yang
bersifat terwariskan (heritable). Mutasi juga dapat diartikan sebagai perubahan
struktural atau komposisi genom suatu jasad yang dapat terjadi karena faktor
luar (mutagen) atau karena kesalahan replikasi. Peristiwa terjadinya mutasi
disebut mutagenesis. Makhluk hidup yang mengalami mutasi disebut mutan dan
factor penyebab mutasi disebut mutagen (mutagenic agent).
Mutasi
terdiri dari 2 macam, yaitu mutasi gen dan mutasi kromosom. Mutasi gen
merupakan perubahan yang terjadi pada nukleutida DNA yang membawa suatu gen
tertentu. Sedangkan mutasi kromosom yaitu mutasi yang disebabkan karena
perubahan struktur kromosom atau perubahan jumlah kromosom. Mutasi kromosom
sering terjadi karena kesalahan pada meiosis maupun pada mitosis.
2.5
Bahan Mutasi
a.
Bahan Mutasi Kimia
Bahan
mutagen yang sering digunakan dalam penelitian pemuliaan tanaman yaitu mutagen
kimia, misalnya Ethyl Methane Sulphonate (EMS), Diethyl Sulphate (DES),
Methyl Methane Sulphonate (MMS), nitrous acids dan sebagainya (IAEA
1977). Dari beberapa mutagen kimia tersebut EMS paling banyak digunakan karena
sering menghasilkan mutan yang bermanfaat dan tidak bersifat mutagenik setelah
terhidrolisis (Van Harten 1998).
b.
Bahan Mutasi Alami
Bahan
mutasi alami adalah bahan yang bersumber dari hasil alam, seperti sinar gamma,
daya panas, pemberian sinar UV bahkan petir yang dapat menyebabkan perubahan
genetika pada tanaman atau makhluk hidup lainnya.
Dan
bahan mutasi yang digunakan dalam proses mutasi ini, diantaranya :
1.
Etil metanasulfonat
(EMS)
Etil metanasulfonat
(EMS) adalah senyawa organikmutagenik, teratogenik, dan mungkin karsinogenik dengan formula C3H8SO3.
EMS sering digunakan dalam genetika sebagai mutagen. Ethyl Methane
Sulfonate (EMS) yang merupakan senyawa kimia yang paling sering digunakan dalam
penelitian mutasi induksi (Soeranto, 2003) yang mampu melakukan delesi basa
pada kromosom.
2.
Buffer Phosphate pH 7
Buffer merupakan larutan penyangga yang
dihasilkan dari proses pencampuran antara
2 zat yaitu monosodium phosphate dan disodium phosphate.
Dalam proses mutasi
pada tanaman cabai dalam makalah ini digunakan EMS 1% yang dilarutkan kedalam
buffer phosphate pH 7. Selain itu, dalam proses mutasi ini diperlukan air untuk
merendam benih dalam proses imbibisi air.
2.6
Metode Aplikasi
Ethyl
Methanesulfonate 1% disiapkan dengan melarutkan dalam buffer phosphate pH 7. Pada
jurnal pengujian yang ditemukan, benih cabai direndam dalam air selama 6 jam
untuk proses imbibisi, selanjutnya dilakukan beberapa perlakuan pada benih, benih
cabai direndam dalam EMS konsentrasi 1% selama
6, 9, 12 dan 15 jam pada suhu ruang dan kontrol direndam dalam buffer
phosphate pH 7. Benih disemai dalam bumbungan, dan setelah bibit berusia 21
hari dipindah ke bedengan. Pengamatan dilakukan terhadap karakter reproduktif
yaitu umur tanaman mulai berbunga dan viabilitas serbuk sari cabai merah.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Parameter Yang Diamati
Perubahan mutasi
yang terjadi pada tanaman cabai dengan menggunakan mutagen kimia yaitu Ethil
Methan Sulfonate (EMS) mempengaruhi pertumbuhan serta perkembangan tanaman
cabai yang menyebabkan terjadinya perubahan yang dapat terlihat pada parameter
yang diamati khususnya proses pembungaan dan viabilitas serbuk sari, yaitu
sebagai berikut :
Perlakuan perendaman biji cabai merah (Capsicum Annuum L.) dengan
mengunakan Etil Metil Sulfhonat 1% menunjukkan hasil yang berbeda-beda setiap
perlakuannya salah satunya hari dimana tanaman berbunga untuk pertama kali.
Tabel
1. Umur Tanaman Cabai Merah Saat Mulai Berbunga pada Berbagai Lama Waktu
Perendaman EMS 1%
Perlakuan
|
Umur
pertama tanaman berbunga
|
EMS 1% 6 Jam
|
35 Hari
|
EMS 1% 9 Jam
|
35 Hari
|
EMS 1% 12 jam
|
53 Hari
|
EMS 1% 15 jam
|
53 Hari
|
Perlakuan dengan larutan EMS 1% selama 6 jam dan 9 jam
menghasilkan tanaman cabai dengan rata-rata berbunga paling cepat yaitu 35
hari. Sedangkan, perlakukan dengan EMS 1%
selama 12 jam dan 15 jam tidak meyebabkan perubahan pada umur tanaman
saat munculnya bunga. Mutagen dapat merubah hari berbunga dan berbuah pada
tanaman (Nahiyan et al., 2014). Menurut Nasare & Choudhary (2011) tanaman
yang diberi perlakuan mutagen yang mulai berbunga 15 – 20 hari sebelum control
tergolong tanaman early flowering. Penelitian lain untuk hari berbunga lebih
awal juga dilaporkan pada tanaman Lathyrus
stativus L. (Kumar & Dubey, 1998; Girhe & Choudhary, 2002). Temuan
ini menunjukkan bahwa EMS dapat mengubah hari untuk berbunga menjadi lebih
awal.
Seperti halnya umur tanaman saja yang menunjukan hasil
yang berbeda-beda, perendaman biji cabai merah dengan konsentrasi EMS 1%
terhadap kematangan serbuk sari tanaman cabai merah menunjukkan hasil yang
berbeda-beda pula.
Tabel
2. Rata-Rata ViabilitasSerbuk Sari
Perlakuan
|
KematanganSerbuk
Sari
|
EMS 1% 6 Jam
|
93%
|
EMS 1% 9 jam
|
89%
|
EMS 1% 12 jam
|
99%
|
EMS 1% 15 jam
|
93%
|
Perlakuan perendaman biji cabai dengan EMS 1% selama
12 jam menghasilkan tanaman dengan viabilitas serbuk sari paling tinggi yaitu
sebesar 99%. Sedangkan tanaman dengan perlakuan perendaman biji cabai dengan
EMS 1% selama 9 jam menghasilkan tanaman dengan viabilitas/ kematangan serbuk
sari paling rendah yaitu sebesar 89%.
3.2
Pembahasan
Ethil methan
sulfonate merupakan senyawa yang banyak digunakan untuk meningkatkan keragaman
genetik tanaman dan perbaikan kualitas tanaman. Keberhasilan mutasi pada tiap
tanaman tergantung pada konsentrasi dan lama perendaman yang digunakan (Yanti
2007).
Mutagen
kimia Ethyl Methanesulfonate (EMS) merupakan senyawa kimia yang paling sering
digunakan dalam penelitian mutasi induksi (Soeranto, 2003). Ethyl
methanesulfonate merupakan senyawa alkil yang menyebabkan perubahan basa yaitu
terjadinya delesi pasangan basa tertentu dalam kromosom (VanHarten, 1998).
Hasil yang didapatkan dari proses mutasi tersebut
yaitu adanya perubahan sifat fisiologis pada tanaman cabai, yaitu tumbuhnya
bunga yang cepat dan peningkatan viabilitas serbuk sari yang menunjang pula
pada cepatnya waktu proses pemanenan.
Namun terdapat peningkatan dan penurunan
viabilitas/kematangan serbuk sari pada perlakuan perendaman EMS 1% dengan waktu
perendaman yang berbeda, hal ini dapat dikaitkan dengan EMS sebagai mutagen
dapat menghambat dan meningkatkan viabilitas/kematangan serbuk sari dengan
mengacaukan susunan enzim dan hormon yang merangsang pembentukan serbuk sari
pada lama perendaman tertentu, dosis mutagen juga sangat berpengaruh terhadap
kondisi serbuk sari sehingga serbuk sari yang dihasilkan dapat menjadi steril
ataupun fertil yang akhirnya mempengaruhi peningkatan dan penurunan viabilitas
serbuk sari (Pathak et al., 1983).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1
Kesimpulan
Kesimpulan yang
dapat diambil dari proses mutasi yang dihasilkan, yaitu tanaman cabai merah mengalami mutasi gen, yang
menyebabkan perubahan umur panen menjadi lebih pendek karena proses pembungaan
(35 hari) dan viabilitas serbuk sari (93%) berlangsung lebih cepat terutama
pada perlakuan perendaman benih cabai dengan ethil methan sulfonat selama 6 jam.
Untuk viabilitas serbuk sari masih terdapat hasil yang lebih tinggi, yaitu pada
perlakuan perendaman benih selama 12 jam namun pada proses pembungaannya
termasuk membutuhkan waktu yang lama, yaitu 53 hari seperti pada perlakuan
kontrol. Oleh karena itu dengan pemberian perendaman Ethil Methan Sulfonate
(EMS) dapat membuat tanaman cabai menjadi berumur genjah/pendek.
4.2
Saran
Dalam penggunaan EMS
perlu adanya ketelitian dan ketepatan dosis yang digunakan, karena bila dosis
lebih ataupun kurang (tidak tepat) akan menghasilkan hasil yang berbeda begitu
pula dengan waktu perendaman.
DAFTAR PUSTAKA
Anonima. 2007. Cabai Merah.
http://id.wikipedia.org/wiki/Cabai. Diakses pada
tanggal
03 Mei 2010.
Anonimc.2010. Budidaya Cabai
Hibrida. http://www.tanindo.com/budidaya/
cabe/cabehibrida.htm.
Diakses pada tanggal 03 Mei 2010.
BPS.
2011. Laporan ringkas studi cabai. Laporan bulanan data sosial ekonomi. Edisi
9. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Girhe,
S. & A.D. Choudhary. 2002. Induced morphological mutants in Lathyrus
stativus. Journal Cytology and Genetics. 3: 1-6.
Hewindati, Yuni Tri dkk. 2006.
Hortikultura. Universitas Terbuka. Jakarta.
Kilham,
C. 2006. Chiles, The Hottest Health Promoters. [on line] http://
www.medicinehunter.com.
Kumar,
S. & D.K. Dubey, 1998, Induced morphological mutations in Lathyrus stativus
L. Journal Cytology and Genetics., 33:131- 137.
Nahiyan,
A.S.M., L. Rahman, S. Raiyan, H. Mehraj, & A.F.M. Jamal Uddin. 2014.
Selection of EMS Induced Tomato Variants Through Tilling for Point Mutation.
Bangladesh Research Publications Journal. 10 (2): 214- 222.
Nasare, P.N., & A.D. Choudhary.
2011. Early Flowering and High Yielding Mutants In Ocimum sanctum Linn. Indian
Streams Reseach Journal. 1(3): 202-204.
Pathak,
C.S., D.P. Singh, & A.A. Deshpande. 1983. Male and female sterility in hot
pepper (Capsicum annuum L.). Capsicum Newsletter. 97-98.
Satyanarayana, M.N. 2006. Capsaicin
and gastric ulcers. Critical Reviews in Food Science and Nutrition 46: 275-328.
Soeranto,
H. 2003. Peran Iptek nuklir dalam pemuliaan tanaman untuk mendukung industri
pertanian. Puslitbang Teknologi Isotop dan Radiasi. Jakarta: Badan Tenaga
Nuklir Nasional.
Tjahjadi, Nur. 1991. Bertanam
Cabai. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
VanHarten,
A.M. 1998. Mutation Breeding: Theory and Practical Application. New York:
Cambridge University Press.
Wiranto, Chaidar.
2011. Mutasi.
Yanti Y (2007) Morphologycal variation planlet “Raja Sereh”
banana treatments of ethyl methane sulphonate muthagen through in vitro.
The Third Asian Conference on Plant Pathology. Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar