TUGAS
MATA KULIAH
DASAR
PERLINDUNGAN TANAMAN
PENGENDALIAN
HAMA TERPADU PADA HAMA TIKUS
(Rattus-rattus Sp)
Disusun Oleh :
Faisal Ari Kusdinia (NPM.
4122.1.15.11.0007)
AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS WINAYA MUKTI
Bojong
seungit Jalan Raya Bandung – Sumedang Km. 29 Tanjungsari Sumedang 45362 Jawa
Barat, Telp. 022-7911214, 7912585 ; Fax. 0227912585
2016
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah STW, yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Pengendalian Hama Terpadu Tikus”. Dalam penyusunan Makalah ini kami tidak
lepas dari bimbingan dosen mata kuliah Dasar Perlindungan Tanaman dan bantuan
dari berbagai pihak.
Kami
menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena
keterbatasan kemampuan. Untuk itu kami harapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya
dan bagi pembaca pada umumnya.
Tanjungsri,
Oktober 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
KATA
PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR
ISI............................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN.......................................................................... 1
1.1 Latar
Belakang....................................................................................... 1
1.2 Rumusan
Masalah.................................................................................. 1
1.3 Tujuan
Penulisan.................................................................................... 1
BAB
II KERANGKA PEMIKIRAN......................................................... 2
2.1 Pengertian Pengendalian Hama Terpadu........................................ 2
2.2 Teknik-Teknik
Pengendalian Hama Terpadu................................... 2
2.3 PHT
Sebagai Kajian Pemerintah...................................................... 2
2.4 Tikus................................................................................................. 2
2.5 Cara
Pengendalian Hama Tikus....................................................... 4
BAB
III PEMBAHSAN............................................................................. 5
3.1 Pengendalian
Hama Terpadu........................................................... 5
3.2 Hama
Tikus...................................................................................... 9
3.3 Pengendalian
Hama Tikus................................................................ 16
3.4 Metode
Pengendalian...................................................................... 16
BAB
IV PENUTUP.................................................................................... 23
4.1 Kesimpulan...................................................................................... 23
4.2 Saran................................................................................................ 23
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................. iii
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Tikus (Rattus
rattus) merupakan salah satu hama utama, baik itu dalam bidang budidaya,
perkebunan bahkan sampai mengganggu kehidupan manusia. Ratusratus argentiventer hama utama tanaman padi yang dapat
menyebabkan kegagalan panen. Selain
sebagai musuh utama budidaya tanaman padi, Ratusratus
diardiri menganngu tanaman perkebunan seperti, kelapa sawit, teh, kopi,
kelapa. Yang lebih parahnya tikus Ratusratus
tiomanicus mengganggu kehidupan manusia seperti, mengambil makanan manusia,
merusak perabotan rumah, dsb. Dalam usaha mengatasi masalah tikus khusunya
dalam budidaya tanaman padi, petani telah melakukan berbagai
alternatif pengendalian, baik secara kultur teknis, fisik mekanik, Biologi dan
yang jalan terakhir secara kimia.
Sehingga dengan
adanya fenomena – fenomena tersebut perlu adanya penanggulan hama tikus secara
efektif dan efisien dalam bentuk PHT (Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu),
pengendalian ini merupakan pengendalian hama yang memang sudah dirancang secara
terpadu untuk mengurangi populasi hama secara tepat melalui beberapa tahap yang
efektif dan efisien sesuai aturan.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan PHT?
2.
Apa yang dimaksud dan timbulkan oleh
hama tikus?
3.
Bagaimana pengendalian hama tikus
dengan komponen PHT?
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui pengertian hama tikus.
2.
Untuk mengetahui kerugian yang
ditimbulkan oleh hama tikus.
3.
Untuk mengetahui cara pengendalian hama
tikus dengan komponen PHT.
BAB
II
KERANGKA
PEMIKIRAN
2.1 Pengertian
Pengendalian Hama Terpadu
Pengendalian
Hama Terpadu (PHT) adalah suatu konsepsi atau cara berpikir mengenai
pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) dengan pendekatan ekologi yang
bersifat multidisiplin untuk mengelola populasi hama dan penyakit dengan
memanfaatkan beragam taktik pengendalian yang kompatibel dalam suatu kesatuan
koordinasi pengelolaan. Karena PHT merupakan suatu sistem pengendalian yang
menggunakan pendekatan ekologi, maka pemahaman tentang biologi dan ekologi hama
dan penyakit menjadi sangat penting.
2.2 Teknik-Teknik
Pengendalian Hama Terpadu
1.
Pengendalian
secara Bercocok Tanam.
2.
Pengendalian
dengan Varietas Tahan.
3.
Pengendalian
secara Fisik dan Mekanik.
4.
Pengendalian
secara Biologi (Hayati).
5.
Pengendalian
secara Kimiawi.
6.
Pengelolaan
Hama Terpadu.
2.3
PHT
Sebagai Kebijakan Pemerintah
Kebijakan
pemerintah tentang PHT mempunyai dukungan hukum yang lebih kuat lagi dengan
disahkannya Undang-Undang No.12
tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman oleh Presiden pada tanggal 30 April
1992 setelah melalui persetujuan dari DPR. Pada pasal 20 UU No.12/
1992.
2.4 Tikus
2.4.1
Tikus Sawah (Ratusratus
argentiventer)
Tikus sawah mempunyai distribusi geografi yang menyebar di
seluruh dunia sehingga disebut sebagai hewan kosmopolit. Tikus sawah mudah
ditemukan di perkotaan dan pedesaan di seluruh penjuru Asia Tenggara. Hewan
pengerat itu menyukai persawahan, ladang, dan padang rumput tempat tikus itu
memperoleh makanannya berupa bulir padi, jagung, atau rumput. Tikus sawah
membuat sarang di lubang-lubang, di bawah batu, atau di dalam sisa-sisa kayu.
Tikus sawah itu adalah jenis hama pengganggu pertanian utama dan sulit
dikendalikan karena tikus itu mampu ”belajar” dari tindakan-tindakan yang telah
dilakukan sebelumnya.
Tikus menyerang padi pada malam hari, pada siang hari tikus
bersembunyi di dalam lubang pada tanggul irigasi, jalan sawah, pematang, dan
daerah perkampungan dekat sawah. Pada periode sawah bera sebagian tikus
bermigrasi ke daerah perkampungan dekat sawah dan akan kembali ke sawah setelah
pertanaman padi menjelang fase generatif. Kehadiran tikus di daerah persawahan
dapat dideteksi dengan memantau keberadaan jejak kaki (foot print), jalur jalan
(run way), kotoran/feses, lubang aktif, dan gejala serangan. Tikus betina
mengalami masa bunting sekitar 21-23 hari dan mampu beranak rata-rata sejumlah
10 ekor. Tikus dapat berkembang biak apabila makanannya banyak mengandung zat
tepung. Populasi tikus sawah sangat ditentukan oleh ketersediaan makanan dan
tempat persembunyian yang memadai. Tempat persembunyian tikus antara lain
tanaman, semak belukar, rumpun bambu, pematang sawah yang ditumbuhi gulma, dan
kebun yang kotor.
2.4.2
Tikus Rumah (Ratusratus diardiri)
Adalah hewan pengerat
biasa yang mudah dijumpai di rumah-rumah dengan ekor yang panjang dan pandai
memanjat serta melompat. Hewan ini termasuk dalam subsuku Murinae dan berasal
dari Asia.
Namun, ia lalu menyebar ke Eropa melalui perdagangan sejak awal penanggalan
modern dan betul-betul menyebar pada abad ke-6. Selanjutnya ia menyebar ke
seluruh penjuru dunia. Tikus rumah pada masa kini cenderung tersebar di daerah
yang lebih hangat.
Tidak seperti
saingannya, tikus got, tikus rumah adalah perenang yang buruk dan bangkainya
sering ditemukan di sumur-sumur. Namun, ia lebih gesit dan pemanjat ulung,
bahkan berani "terbang". Warnanya biasanya hitam atau coklat terang,
meskipun sekarang ada yang dibiakkan dengan warna putih atau loreng. Ukurannya
biasanya 15–20 cm dengan ekor ± 20 cm. Hewan ini nokturnal
dan pemakan segala, namun menyukai bulir-bulir. Betinanya mampu beranak kapan
saja, dengan anak 3-10 ekor/kelahiran. Umurnya mencapai 2-3 tahun dan menyukai
hidup
2.4.3
Tikus Pohon (Ratusratus
Tiomanicus)
Suatu
spesies
tikus
dari familia
Muridae.
Hewan ini ditemukan di Semenanjung Melayu, Kalimantan,
Palawan,
Sumatera,
Jawa,
dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Hewan ini memiliki panjang sekitar 14 –
19 cm dengan panjang ekor 12 – 18 cm. Beratnya berkisar antara 80
sampai 130 gr. Kulitnya berwarna coklat pada bagian atas, putih atau agak
abu-abu pada bagian ventral, dan gelap pada bagian ekor. Tikus pohon terutama
aktif pada malam hari dan hidup di daerah hutan pesisir, hutan bakau, atau
padang rumput, tikus pohon biasanya menbuang sarangnya seperti sarang burung.
Di beberapa daerah, misalnya di Sulawesi,
tikus pohon dijadikan bahan makanan oleh penduduk.
2.5 Cara Pengendalian Hama Tikus
1. Sanitasi Lingkungan.
2. Fisik dan Mekanis.
-
Gropyokan.
-
Pembongkaran
liang.
-
Perangkap bubu.
-
Perangkap
bambu.
3. Mengatur waktu tanam.
4. Konservasi dan Pemanfaatan Musuh Alami.
5. Penerapan Pengaturan
6. Penggunaan Bahan kimiawi
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 Pengendalian
Hama Terpadu
Pengendalian
Hama Terpadu (PHT) adalah suatu konsepsi atau cara berpikir mengenai
pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) dengan pendekatan ekologi yang
bersifat multidisiplin untuk mengelola populasi hama dan penyakit dengan
memanfaatkan beragam taktik pengendalian yang kompatibel dalam suatu kesatuan
koordinasi pengelolaan. Karena PHT merupakan suatu sistem pengendalian yang
menggunakan pendekatan ekologi, maka pemahaman tentang biologi dan ekologi hama
dan penyakit menjadi sangat penting.
Konsep PHT
muncul akibat kesadaran umat manusia akan bahaya pestisida sebagai bahan yang
beracun bagi kelangsungan hidup ekosistem dan kehidupan manusia secara global,
sedangkan kenyataan yang terjadi bahwa penggunaan pestisida oleh petani di
dunia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Diperlukan adanya cara pendekatan
pengendalian hama yang dapat menekan penggunaan pestisida. Konsepsi PHT yang
semula hanya mengikutsertakan dua metode atau teknik pengendalian kemudian
dikembangkan dengan memadukan semua metode pengendalian hama yang dikenal,
termasuk di dalamnya pengendalian secara fisik, pengendalian mekanik,
pengendalian secara bercocok tanam, pengendalian hayati, pengendalian kimiawi
dan pengendalian hama lainnya. Dengan cara ini ketergantungan petani terahadap
pestisida yang biasa menjadi cara pengendalian hama utama dapat dikurangi.
Dilihat dari
segi operasional pengendalian PHT dapat diartikan sebagai pengendalian hama
yang memadukan semua teknik atau metode pengendalian hama sedemikian rupa
sehingga populasi hama dapat tetap berada di bawah Ambang Ekonomi. Dari
definisi-definisi tersebut dapat kita ketahui bahwa PHT tidak hanya mencakup
pengertian tentang perpaduan beberapa teknik pengendalian hama, tetapi dalam
penerapannya PHT memperhitungkan dampaknya baik yang bersifat ekologis,
ekonomis, dan sosiologis sehingga secara keseluruhan kita memperoleh hasil yang
terbaik. Oleh karena itu PHT dalam perencanaan, penerapan dan evaluasinya harus
mengikuti suatu system pengelolaan yang terkoordinasi dengan baik.
3.1.1
Konsep
Pengendalian Hama Terpadu
1. Pemahaman
Sifat Dinamika Ekosistem Pertanian
Usaha pengendalian hama adalah salah satu usaha dari
proses produksi pertanian guna memperoleh hasil semaksimal mungkin dari lahan
pertanian bagi kepentingan petani dan masyarakat luas. Sedangkan proses
produksi tanaman meliputi berbagai kegiatan pengelolaan lingkungan pertanian
atau agro-ekosistem yang ditujukan untuk pencapaian sasaran produktivitas
tertentu. Jadi PHT merupakan bagian integral dari pengelolaan agro-ekosistem,
ahkan ada ahli yang mendefinisikan bahwa PHT adalah pengelolaan agro-ekosistem.
Oleh karena itu agar diperoleh hasil pengendalian hama yang baik diperlukan
pemahaman tentang sifat agro-ekosistem yang sedang dikelola.
2. Analisis
Biaya-Manfaat Pengendalian Hama
Dalam pengembangan masyarakat dalam era pembangunan
nasional saat ini tentunya tepat kalau kita anggap bahwa setiap petani dalam
mengelola lahan pertaniannya ingin memperoleh keuntungan setingi-tingginya.
Biaya yang dikeluarkan dalam pengendalian hama merupakan total uang yang
dikeluarkan untuk membeli pestisida, varietas tahan hama, untuk menyewa alat
pengendalian, dan membayar tenaga pengendali hama. Manfaat yang diperoleh dari
usaha pengendalian hama berupa nilai manfaat dan biaya pengendalian hama secara
kasar dianggap sebagai keuntungan dari usaha pengendalian hama.
3. Toleransi
Tanaman terhadap Kerusakan
Perlu kita mengerti bahwa semua tanaman tentu
memiliki tingkat toleransi tertentu terhadap adanya kerusakan, baik yang oleh
karena serangan hama atau oleh penyebab lainnya. Hal itu berarti bahwa adanya
tingkat kerusakan tersebut tidak mempengaruhi penghasilan petani. Oleh karena
itu adanya populasi hama tertentu pada tanaman yang kita usahakan mungkin tidak
akan mengakibatkan kerugian apapun pada kita. Perhatian untuk adanya
pengendalian, baru kita lakukan apabila populasi hama atau kerusakan tanaman
telah melampaui ambang toleransi tanaman.
4. Pertahankan
Adanya Sedikit Populasi Hama di Tanaman
Banyak orang terutama yang mengikuti pendekatan
konvensional berpendapat bahwa sasaran pengendalian hama adalah menghabiskan
atau memusnahkan setiap hama yang ada dipertanaman kita. Menurut mereka sangat
ideal apabila dalam lahan pertanian kita sama sekali tidak ada seekorpun hama
yang dapat mengganggu tanaman yang diusahakan. Pendapat tersebut menurut konsep
PHT tidak tepat karena di ekosistem pertanian kita menginginkan tetap
terjaganya keseimbangan populasi antara hama dan musuh pertanaman tidak ada
hama para musuh petani tersebut tidak akan menjumpai makanannya sehingga mereka
akan mati atau pindah dari tempat tersebut. Dalam keadaan tanpa musuh alami
populasi hama akan dengan bebas meningkat jumlahnya sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya letusan hama yang sangat membahayakan.
5. Budidaya
Tanaman Yang Sehat
Budidaya tanaman yang sehat dan kuat menjadi bagian
yang penting dalam program pengendalian hama. Tanaman yang sehat tentunya akan
lebih dapat bertahan terhadap serangan hama bila dibandingkan dengan tanaman
yang lemah. Juga tanaman yang sehat akan lebih cepat mengatasi kerusakan yang
terjadi akibat serangan hama dengan mempercepat pembentukan anakan proses
penyembuhan fisiologis lainnya.
6. Pemantauan
Lahan
Seperti dijelaskan di depan agro-ekosistem sangat
dinamis, banyak factor yang saling mempengaruhi satu dengan yang lain.
Terjadinya letusan hama pada suatu agro-ekosistem merupakan hasil interaksi
berbagai komponen ekosistem yang mengakibatkan peningkatan populasi hama sampai
melampaui Ambang Ekonomi, Komponen ekosistem teresebut dapat berasal dari dalam
ekosistem sendiri maupun yang dimasukkan oleh karena tindakan manusia. Untuk
dapat mengikuti perkembangan populasi hama dan musuh alami di lahan serta menentukan
tindakan pengendalian yang perlu dilaksanakan, tidak ada lahannya secara rutin.
7. Pemasyarakatan
Konsep PHT
Agar petani mau dan mampu menerapkan PHT diperlukan
usaha pemasyarakatan PHT melalui berbagai jalur penerangan, pendidikan dan
pelatihan baik yang dilakukan secara formal maupun informal.
3.1.2
Program
Nasional PHT
1. PHT
sebagai Kebijakan Pemerintah
Kebijakan
pemerintah tentang PHT mempunyai dukungan hukum yang lebih kuat lagi dengan
disahkannya Undang-Undang No.12
tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman oleh Presiden pada tanggal 30 April
1992 setelah melalui persetujuan dari DPR. Pada pasal 20 UU No.12/
1992 dinyatakan bahwa :
-
Perlindungan tanaman dilaksanakan dengan
system PHT
-
Pelaksanaan perlindungan tanaman sebagai
mana dimaksud dalam ayat (1), menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah.
Dalam UU tersebut juga telah ditetapkan berbagai bentuk sangsi hokum yang
dikenakan kepada barang-barang yang melanggar berbagai ketentuan yang tercantum
dalam UU No.12/
1992 termasuk pelanggaran terhadap penggunaan insektisida yang dilarang. Dengan
adanya inpres No.3/1986 dan UU No.12/
1992 maka PHT di Indonesia telah memiliki dasar yang kuat mantap sehingga
praktek pengendalian hama secara konvensional harus segera ditinggalkan dan
diganti sepenuhnya dengan PHT.
2. Pelatihan
dan Pengembangan PHT
Berbagai
tindak lanjut dari Instruksi Presiden No.3/ 1986 pemerintah sejak tahun 1989
mulai menyelenggarakan program pelatihan pengembangan dan pemasyarakatan PHT
secara nasional sebagai salah satu perwujudan dari pengembangan SDM (Sumber
Daya Manusia). Dalam jangkauan 2 – 3 tahun pertama (1989-1992) direncanakan
akan dilatih 1.000 PHP (Pengamat Hama dan Penyakitk), 2.000 PPL (Penyuluh
Pertanian Lapangan) dan 100.000 petani.
3.2
Hama
Tikus
3.2.1
Latar
Belakang Hama Tikus
Kehidupan tikus sangat dekat dengan kehidupan manusia,
tikus dapat hidup di rumah-rumah, gudang, sawah, perkebunan, dan sebagainya.
Tikus dapat berperan sebagai hewan yang bermanfaat dan dapat berperan sebagai
hewan yang merugikan kehidupan manusia. Sebagai hewan yang bermanfaat tikus
dapat berguna sebagai hewan percobaan laboratorium dan sebagai hewan yang
merugikan tikus dapat menjadi hama bagi tanaman pertanian dan penyebaran
penyakit bagi manusia. Suatu hewan disebut sebagai hama karena hewan tersebut menjadi
pengganggu dalam budidaya tanaman. Penyebutan hama itu sendiri didasarkan pada
persepsi manusia sendiri, jika menurutnya mengganggu usahatani maka disebut
sebagai hama.
Pada awalnya tikus hanya berada di benua Asia, penyebaran
tikus terjadi seiring dengan adanya migrasi penduduk antar benua. Pada jaman
dahulu tikus dijadikan sebagai hewan yang menjadi pertanda apakah pertanian
disuatu tempat akan maju atau tidak, hal tersebut berkaitan dengan ciri khas
tikus yang hanya hidup di daerah yang kebutuhan pakannya cukup. Sehingga jika
suatu tempat kebutuhan pakannya kurang maka tikus akan ber migrasi ke tempat
lain. Sifat hubungan tikus dengan manusia lebih cenderung
parasitisme. Tikus mendapat keuntungan tetapi manusia mendapat kerugian.
Dibandingkan dengan hama lainnya tikus memiliki kelebihan yang tidak dimiliki
oleh hama serangga, yaitu :
1.
Tikus
dapat merusak tanaman budidaya dalam waktu yang singkat dan dalam jumlah
kerusakan yang besar, walaupun hal tersebut dilakukan oleh beberapa ekor tikus
saja. Dalam satu malam satu tikus sawah rata-rata dapat merusak tanaman padi
sebanyak 649,72 tunas IR64 dan 716 tunas untuk Cisadane.
2.
Tikus
menyerang tanaman dalam berbagai stadia umur. Mulai dari pembibitan, fase
vegetatif, vase generatif, panen, dan pasca panen
3.
Tikus
dapat mempberikan tanggapan terhadap kegiatan pengendalian yang dilakukan
manusia baik itu menghindari (tidak memakan umpan beracun yang pernah diberikan
sebelumnya) maupun menghadapi (mengahadapi musuh alaminya/predator).Walaupun
hal tersebut juga dilakukan oleh hama serangga tetapi tingkat tresponnya lebih
kecil dibangdingkan dengan tikus
4.
Tikus
mempunyai mobilitas yang tinggi dengan kedua tungkainya. Pada keadaan daerah
yang kurang mendukung untuk kebutuhan pangan tikus dapat melakukan migrasi sejauh
700m atau lebih, pada keadaan pakan tercukupi tikus keluar sarang sejaun 20m
hingga 200m saja. Tikus juga dapat berpindah tempat dengan memanfaatkan
transportasi yang dimiliki manusia. Misalnya pada penyebaran tikus pada mulanya
yaitu dengan menumpang kapal laun hingga tikus menyebar di seluruh dunia.
3.2.2
Klasifikasi Tikus
Dunia : Animalia
Filum : Chordata
Subfilim : Vertebrata (Craniata)
Kelas : mammalia
Subkelas : Theria
Infrakelas : Eutheria
Ordo : Rodentia
Subordo : Myomorpha
Famili : Muridae
Subfamili : Murinae
Genus : Bandicota, Rattus, dan Mus
Ada sekitar 8 spesies yang paling berperan sebagai hama
tanaman pertanian dan vektor patogen manusia. Kedelapan spesies tersebut adalah
:
1.
Bandicota
indica (tikus wirok),
habitatnya di gudang, pasar, perumahan, pertanaman padi dan tebu.
2.
Rattus
norvegicus (tikus riul),
habitatnya di gudang, selokan, dan rumah.
3.
Rattus-rattus
diardii (tikus rumah),
habitatnya di perkebunan, hutan sekunder, semak belukar, pekarangan.
4.
Rattus
tiomanicus (tikus pohon),
habitatnya di rumah dan gudang.
5.
Rattus
argentiventer (tikus sawah),
habitatnya di sawah ketinggian <1500mdpl.
6.
Rattus
exulans (tikus ladang),
habitatnya di sawah, ladang ketinggian <1200>.
7.
Mus
musculus (mencit rumah, habitatnya
di rumah dan gudang.
8.
Mus
caroli (mencit ladang),
habitatnya di ladang, dan sawah.
Tikus dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu hewan pemanjat (arboreal) dan
hewan penggali (terestrial). Hewan terestrial dicirikan dengan ekor relatif
pendek terhadap kepala dan badan, serta tonjolan pada telapak kaki yang relatif
kecil dan halus (tikus wirok, tikus riul, tikus sawah, mencit ladang). Hewan
arboreal dicirikan dengan ekor yang panjang serta tonjolan pada telapak kaki
yang besar dan kasar (tikus pohon, tikus rumah, tikus ladang, mencit rumah).
Salah satu ciri dari tikus sebagai hewan pengerat adalah kemampuannya untuk
mengerat benda-benda yang keras dengan maksud untuk mengurangi pertumbuhan gigi
serinya yang tumbuh secara terus menerus. Perttumbuhan secara terus menerus
tersebut diakibatkan karena tidak adanya penyempitan pada bagian pangkal
sehingga terdapat celah yang mengakibatkan pertumbuhan tersu menerus. Aktivitas
pengeratan tersebut banyak menimbulkan kerugian antara lain rusaknya kabel
listrik, kayu kuda-kuda rumah, fondasi, dsb.
Di rumah-rumah sering dijumpai cerucut, cerucut bukan merupakan hewan
pengerat susunan giginya dengan tikus jauh berbeda. Makanan utama cerucut
adalah serangga (protein hewani), ini dapat dilihat dari kotorannya yang basah.
Kotoran tikus yang kering menandakan bahwa makanannya berasal dari serat atau
serealia. Ciri cerucut yang lainnya adalah mengeluarkan bau dari kelenjar bau
yang dekat dengan lubang anus.
3.2.3 Biologi
Tikus
1.
Kemampuan
Indera Tikus
Tikus merupakan hewan yang aktif pada malam hari
(nokturnal) dan memliki kepekaan terhadap cahaya. Dalam cahaya remang-remang
mampu mengenali benda yang jauhnya 10-15 m di depannya. Tikus merupakan hewan
yang buta warna sebagian besar warna yang ditangkap oleh htikus adalah warna
kelabu. Ada kecenderungan tikus tertarik dengan warna kuning dan hijau terang
yang ditangkap sebagai warna kelabu cerah. Warna-warna tersebut dapat digunakan
untuk menarik tikus pada umpan, selain itu kedua warna tersebut dapat digunakan
untuk mengusir burung.
Tikus memiliki indera penciuman yang berkembang dengan
baik. Penciuman yang baik ini digunakan untuk mencium urine dan sekresi
genitalia untuk menandai wilayah pergerakan tikus lainnya, serta mendetaksi
tikus betina yang sedang birahi. Indera penciuman tersebut dapat dimanfaatkan
untuk menarik atau mengusir tikua dari suatu tempat. Salah satu contoh untuk
menarik tikus jantan dapat mengunakan bahan kimia (attractant).
Suara ultarsonik digunakan oleh tikus untuk melakukan
komunikasi sosial, terutama pada tikus jantan. Tikus jantan mengeluarkan suara
tersebut pada saat melakukan aktivitas seksual maupun berkelahi dengan tikus
jantan lainnya untuk menentukan daerah kekuasaan.
Tikus memiliki kemampuan untuk mendeteksi zat-zat yang
pahit, bersifat toksit, atau berasa tidak enak. Ini berhubungan dengan
pengendalian tikus dengan menggunakan umpan racun. Kemampuan tersebut
menyebabkan tikus menolak memakan racun dan masalah dosis racun yang tidak
mampu membunuh tikus (sub-lethal).
Indera peraba tikus yang berupa kumis dan rambut pada
tepi tubuh membantu tikus dalam pergerakan di malam hari. Bentuk rabaan
tersebut dapat berupa sentuhan dengan lantai, dinding, benda-benda yang berada
di dekatnya. Biasanya tikus bergerak antarobyek melalui suatu jalan khusus yang
selalu diulang-ulang yang disebut dengan run-way. Tingkah laku tikus seperti
itu disebut dengan thigmotaxis. Hal tersebut dapat dimanfaatkan manusia untik
meletakkan unpan atau perangkap pada jalan yang biasanya dilalui tikus
tersebut.
2.
Kemampuan
Fisik Tikus
Kemampuan untuk menggali dimiliki oleh tikus terestrial,
penggalian ini bertujuan untuk membuat sarang yang biasanya kedalamannya 50cm
-200cm (pada tanah-tanah yang gembur). Kemampuan memanjat dimiliki oleh tikus
arboreal, ciri yang menonjol adalah panjang ekornya yang lebih panjang
dibandingkan dengan badan dan kepala. Ekor yang panjang ini berfungsi sebagai
alat keseimbangan, dan tidak dimiliki oleh tikus terestrial.
Tikus dapat meloncat secara vertikal (77cm) dan secara
horisontal (240cm), jarak loncatan dapat menjadi lebih jauh lagi apabila tikus
memuali dengan berlari. Tikus dapat mengerat benda-benda yang yang keras sampai
nilai 5,5 pada skala kekerasan geologi, sehingga banyak yang menggunakan besi
logam sebagai penghalang mekanis dari gangguan tikus. Tikus
mampu berenang selama 50-72 jam pada suatu bak dengan suhu 350c. Dan
kemampuan menyelam 30 detik.
3.
Reproduksi
Tikus merupakan hewan yang mempunyai kemampuan reproduksi
yang tinggi bila dibandingkan dengan hewan menyusui lainnya. Hal ini ditunjang
oleh berbagai faktor sebagai berikut :
-
Matang
seksual cepat yaitu antara 2-3 bulan.
-
Masa buntung singkat yaitu antara 21-23 hari.
-
Terjadi
post partum oestrus, yaitu timbulnya birahi kembali segera (24-48 jam) setelah
melahirkan.
-
Dapat
melahirkan sepanjang tahun tanpa mengnal musim yaitu sebagai hewan polistrus
-
Melahirkan
keturunan dalam jumlah yang banyak, yaitu 3-12 ekor dengan 6 ekor perkelahiran.
Bahkan untuk tikus sawah dalam keadaan pakan yang cukup berkualitas dan
kuantitas, mampu malahirkan anak mencapai 16 ekor.
Kemampuan tikus untuk bereproduksi demikian sangat
mempengaruhi upaya pengendalian, karena ketika jumlah tikus dirasakan sedikit
petani tidak lagi melakukan pengendalian sehingga terjadi ledakan jumlah tikus
lagi. Kemampuan reproduksi tikus dipengaruhi oleh cuaca, iklim yang optimum,
dan yang paling berpengaruh adalah kondisi pakan baik kualitas maupun
kuantitas. Berkaitan dengan kualitas sumber pakan yang berasal dari serealia
(padi-padian) merupakan pakan yang memiliki kualitas yang paling baik.
4. Pakan dan Perilaku Makan
Tikus
merupakan hewan omnivora, hampir semua makanan yang dapat dimakan oleh manusia
dapat dimakan pula oleh tikus. Walaupun demiikian tikus lebih senang dengan
biji-bijian (serealia) seperti padi, jagung, gandum. Selain serealia tikus juga
dapat memakan kang-kacangan, umbi-umbian, daging, ikan, telur, buah-buahan dan
sayur-sayuran.. Air dapat diambil dari air bebas dan dari makanan
mengandung air yang dimakan. Kebutuhan pakan seekor tikus kurang lebih 10% dari
bobot tubuhnya (pakan kering), dan dapat meningkat menjadi 15% (jika pakan
tersebut pakan basah)
Tikus
memiliki cara makan yang unik yaitu mencicipi terlebih dahulu untuk melihat
reaksi yang terjadi di tubuhnya sebelum memakan seluruhnya. Jika tidak terjadi
rekasi didalam tubuhnya maka tikus akan memakan dalam jumlah yang lebih banyak,
dan seterusnya sampai pakan tersebut habis. Dengan melihat perilaku tikus yang
demikian pengendalian tikus secara kimiawi dengan menggunakan racun
akur(bekerja dengan cepat) perlu menggunakan umpan pendahuluan(prebaitting)
yang tidak mengandung racun. Jika tidak menggunakan umpan pendahuluan tikus
dapat mengalami jera umpan sehingga ketika diberikan umpan lagi tikus tidak mau
memakannya.
5. Pergerakan
Tikus
melakukan jelajah harian untuk mencri pakan, minum, mencari pasangan, dan
orientasi kaweasan. Selama mengadakan orientasi kawasan tikus akan mengenai
lingkungan yang ada baik itu pakan yang disukai, minuman dan sebagainya.
Sehingga tikus akan mengenali benda asing (umpan) yang berada di lingkungannya.
Aktivitas harian tikus antara 30 sampai 200m. Tetapi pada keadaan pakan yang
tidak mencukupi tikus dapat bergerak 700m atau bahkan lebih dari sarang.
6. Perilaku Sosial
Pada
populasi rendah sampai sedang tikus jantan memiliki kedudukan yang tinggi.
Tetapi pada keadaan populasi yang tinggi tikus jantan yang lemah akan kalah dan
meninggalkan populasi sebelumnya kemudian membuat populasi baru dengan tikus
betina.
7. Ekologi Tikus
Naik
turunnya populasi tikus dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang secara umum
dapat dikelompokkan menjadi faktor biotik dan faktor abiotik.
Faktor biotik : air untuk minum dan sarang, cuaca sebagai
pengaruh tidak langsung yaitu mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan hewan-hewan
kecil sebagai sumber pangan tikus. Faktor biotik yang penting dalam mengatur
populasi tikus adalah : Tumbuhan atau hewan kecil (sumber pakan), patogen
(penyebab penyakit), predator (pemangsa), dan manusia.
Sarang tikus
berfungsi untuk bersembunyi dari musuh, melahirkan ,menyimpan makanan, tempat beristirahat,
dan berlindung dari pengaruh lingkungan. Predator tikus dapat dibedakan menjadi : repil (ular dan
biawak), avea (burung hantu, elang, alap-alap), dan mamalia (kucing, anjing,
garangan, musang, rubah, tikus-tikus besar).
3.3
Pengendalian
Hama Tikus
Yang
perlu diperhatikan ketika melakukan pengendalian hama tikus adalah :
1. Kemampuan mengidentifikasi spesies-spesies tikus yang
jarang menimbulkan masalah.
2. Mengetahui biologi dan perilaku (kebiasaaan) tikus antara
lain tempat tinggal, pergerakan, dan kebiasaan makan.
3. Mengetahui tanda-tanda kehadiran tikus
Keberadaan
tikus dapat dilihat dari feses yang dikeluarkan, keberadaan feses juga dapat
sebagai penanda apakah tikus tersebut masih ada di daerah tersebut atau sudah
pergi. Feses yang masih basah menandakan bahwa tikus masih beraktivitas di
tempat tersebut. Selain dapat dilihat dari feses atau kotoran keberadaan tikus
juga dapat dilihat dari kerusakan yang ditimbulkannya, biasanya terdapat bekas
keratan pada tanaman. Keberadaan tikus juga dapat dilihat dari jalan yang biasa
dilewatinya (run way) dimana pada run way tersebut terdapat jejak kaki. Sarang
juga dapat sebagai penanda adakah tikus di tempat tersebut, untuk mengetahui
apakah lubang atau sarang masih digunakan dapat dengan jalan menutup lubang
dengan gundukan tanah , jika gundukan tanah tersebut berlubang maka sarang
masih aktif.
1. Mengetahui formiula yang tepat dalam menggunakan
rodentisida.
2. Mengetahui permasalahan resistensi tikus.
3. Mengetahui dampak penggunaan ridentisida bagi lingkungan,
hewan ternak, dan manusia.
3.4
Metode pengendalian
Tikus dapat menyerang padi pada berbagai stadia
pertumbuhan, tetapi tikus paling senang menyerang padi pada stadia generatif.
Pad stadia generatif tikus biasanya memakan bulir dan malai padi. Pada stadia
persemaian tikus mencabut tanaman padi yang baru tumbuh untuk memakan bagian
biji yang masih tersisa. Pada stadia vegetatif tikus memakan batangnya dengan
cara memotong pangkal batang. Secara umum metode pengendalian tikus sama dengan
pengendalian hama-hama yang lain. Pengendalian tikus hendaknya menggunakan
konsep PHT dimana penggunaan pestisida atau rodentisida hanya digunakan pada
kondisi terpaksa atau jika metode yang lain sudah tidak mampu menanggulangi
populasi hama tikus.
3.4.1
Pengendalian Secara Kultur Teknis
Pengendalian secara kultur teknis merupakan cara
pengendalian dengan membuat lingkungan yang tidak menguntungkan bagi kehidupan
dan perkembangan populasi tikus. Beberapa cara pengendalian secara kultur
teknis adalah sebagai berikut :
1.
Pengaturan
pola tanam
Pengaturan pola tanam hanya berlaku pada tanaman semusim.
Dengan melakukan pengaturan pola tanam maka keberadan pakan bagi tikus tidak
kontinyu sehingga populasinya dapat menurun. Pergiliran pola tanam antara lain
dapat padi – padi – palawija / padi – palawija – palawija / padi – palawija –
padi. Dengan demikian maka kebutuhan pakan tikus ajan semain berkurang, karena
serealia merupakan pakan yang berkualitas baik bagi tikus jika pakan tersebut
berkurang atau tidak ada maka populasinya akan menurun. Palawija yang dapat
digunakan sebagai tanaman berikutnya adalah jagung, kacang tanah, kedelai,
sayur-sayuran, ubi jalar, ubi kayu. Atau dapat juga di rotasi dengan sayuran
jika kondisi di tempat tersebut cocok untuk ditanami sayuran.
2.
Pengaturan
waktu tanam
Pengaturan waktu tanam serempak dapat mengurangi kerugian
persatuan luas yang diakibatkan oleh tikus karena kerusakannya menyebar. Selain
itu dengan adanya waktu panen yang bersamaan membuat sumber pangan bagi tikus
tidak kontinyu, sehingga tikus kehilangan kesempatan untuk berkembang biak
secara kontinyu. Karena keadaan pakan yang ada pada waktu tertentu saja maka
pertumbuhan populasi tikus dapat diperkirakan. Waktu tanam serempak harus
dilakukan oleh petani-petani minimum dalah areal lahan seluas 100Ha, mengingat
tikus memiliki mobilisasi mencapai lebih dari 700m dari sarang.
3.
Pengaturan
jarak tanam
Tikus sangat menyukai tempat tempat yang berantakan,
semprawut, kotor, sehingga melalui pengaturan jarak tanam populasi tikus dapat
ditekan karena lingkungannya tidak disenagi. Tikus paling tidak suka bergerak
di tempat yang terbuka, tikus lebih sengang bersembunyi, sehingga kalau di
lihat pada lahan pertanaman yang terserang oleh tikus, lahan pada bagian tengah
lah yang diserang, sedangkan pada bagian tepi dekat dengan pematang tidak
diserang. Ada dua hal yang menyebabkan tikus lebih senang menyerang pada bagian
tengah lahan. Yang pertama adalah untuk melindungi sarang yang berada pada
pematang agar tidak terlihat, sehingga tanaman yang berada di dekat pematang tidak
diserang. Yang kedua adalah dengan menyerang pada vagian tengah lahan maka
tikus terhindar dari gangguan manusia.
Pengaturan jarak tanam ini dapat disesuaikan dengan pola
tanam, misalnya pada musim pertanaman pertama jarak tanamnya diperlebar, tetapi
pada musim pertanaman ke dua jarak tanamnya di kembalikan seperti jarak tanam
yang sebenarnya. Pengaturan jarak tanam juga dapat dilakukan dengan cara
tanam Legowo, dimana nantinya jarak antar baris pertanaman menjadi lebar
sehingga tikus takut untuk menyerang pada bagian tengah lahan dan bagian tepi
lahan.
4.
Penggunaan
tanaman perangkap (trap crop)
Penggunaan tanaman perangkap adalah cara pengendalian
tikus dengan menanami terlebih dahulu lahan yang berada di tengah-tengah areal
persawahan, kemudian baru menanami daerah disekitar lahan tersebut. Cara
tersebut dimaksudkan agar tanaman pada lahan yang berada di tengah mengalami
fase generatif lebih awal sehingga serangan tikus akan terpusat pad lahan
tersebut, untuk selanjutnya dapat dilakukan gropyokan. Atau dapat juga menanam
varietas padi yang berumur pendek pada bagian tengah areal pertanaman.
Penggunaan tanaman perangkap dapat dikombinasikan dengan Trap Barrier System (TBS) agar lebih efektif.
3.4.2
Pengendalian Secara Sanitasi
Sesuai dengan ciri khas tikus yang tidak suka dengan
tempat terbuka maka pengendaliannya dapat dengan cara melakukan pembersihan
gulma di sekitar tanaman. Dengan demikian tikus juga akan kehilangan sumber
pakan alternatif pada saat bera.
3.4.3
Pengndalian Secara Fisik-Mekanis
Pengendalian sercara fisik merupakan usaha manusia untuk
merubah faktor lingkungan fisik agar dapat menyebabkan kematian pada tikus.
Faktor fisik tersebut dapat dirubah diatas atau dibawah toleran tikus. Pada
prinsipnya pengendalian secara fisik dan mekanis adalah sebagai berikut :
1. Membunuh tikus secara langsung dengan bantuan alat-alat.
2. Mengusir tikus dengan bermacam-macam alat yang tidak
bersifat kimia( menggunakan sinar ultraviolet,gelombang elektro magnetik, dan
suara ultrasonik).
3. Melingdungi tanaman dari serangan tikus.
Salah satu pengndalian secara fisik dan mekanis adalah
penggunaan pagar plastik, penggunaan pagar plastik dimaksudkan untuk menghalau
tikus memasuki areal pertanaman. Biasanya diterapkan pada lahan persemaian dan
dikombinasikan dengan perangkap yang ditaruh atau diletakkan pada pintu masuk
persemaian. Jika populasi tikus banyak dan modal usahatani besar maka teknik
ini dapat dipergunakan, pada intinya penggunaan pagar plastik akan membuat
tikus tidak dapat memasuki lahan persemaian sehingga tikus akan berusaha
mencari jalan masuk, pada jalan masuk tersebut dapat dipasangi perangkap.
Gropyokan juga merupakan pengendalian fisik mekanis,
biasanya kegiatan ini yang sering dilakukan oleh banyak petani yang pernah Saya
temui. Selain adanya rasa puas karena melihat secara langsung tikus yang mati,
pengendalian secara gropyokan juga memupuk rasa kegotongroyongan karena
dilakukan secara bersama-sama. Gropyokan pada lahan sawah biasanya ditujukan
pada sarang tikus masih aktif yang berada di pematng sawah atau lahan tidak
ditanami yang berada disekitar sawah. Tindakan untuk mengeluarkan tikus dari
liangnya dapat dengan cara menggenangi liang dan membongkar liang, agar tidak
merusak tanaman kegiatan ini dapat dilakukan pada saat pasca panen.
Gropyokan yang dilakukan di malam hari dengan bantuan
lampu petromak juga efektif karena pergerakan tikus akan lambat karena lampu
petromaks (mata tikus menjadi tidak jelas pandangannya saat terkena cahaya
terang). Dalam gropyokan digunakan pula barang-barang dari logam dan bambu yang
dipukul-pukul untuk mengusir tikus dari sarangnya dan digiring menuju perangkap
bisanya berupa jaring yang pasang di dekat pematang sawah atau tempat terbuka,
selanjutnya tikus dapat dibunus secara beramai-ramai di tempat tersebut.
3.4.4
Pengendalian Secara Biologis Atau Hayati
Pengendalian secara hayati dilakukan dengan penggunaan
parasit, predator, atau patogen untuk mengurangi bahkan menghilangkan populasi
tikus pada suatu habitat.predator tikus dapat dibagi berdasarkan klasifikasinya
yaitu kelas reptilia (hewan melata), kelas aves (burung), dan kelas mamalia
(hewan menyusui). Secara ekologis kelas aves merupakan predator terbaik dalam
mencari dan mengkonsumsi mangsanya, diikuti kelas mamalia dan terakhir
reptilia. Kelas avea memiliki laju fisiologi tertinggi sehingga mampu
mengkonsumsi tikus dalam jumlah tinggi. Dari ketiga kelas predator tersebut
dalam hal memangsa tikus dapat dibauat perbandingan sebagai berikut Aves (10) :
Mamalia (4) : Reptilia (1).
Dalam kelas aves beberapa spesies yang menjadi predator
tikus adalah Tyto alba (burung hantu putih), Bubo ketupu (burung
hantu cokelat), Nyctitorac nyctitorac (burung alap alap tikus).
Dalam kelas Mamalia beberapa spesies yang menjadi
predator tikus adalah Paradoxurus hermaphroditus (musang atau luwak), Viverricula
malaccensis (musang bulan), Herpetes javanicus (garangan), Felis
catus (kucing), dan Canis familiaris (anjing).
Dalam kelas Reptilia yang menjadi predator tikus adalah Ptyas
koros (ular tikus), Naja naja (ular kobra), Ophiphagus hannah
(ular kobra raksasa), Trimeresurus hagleri (ular hijau), dan Phyton
reticulatus (ular sanca).
4.4.5
Pengendalian Secara Kimiawi
Pengendalian kimiawi didefinisikan sebagai penggunaan
bahan-bahan yang dapat membunuh tikus atau dapat mengganggu aktivitas tikus,
baik aktivitas untuk makan, minum, mencari pasangan, maupun reproduksinya.
Secara umum pengendalian kimiawi terhadap tikus dapat dibagi menjadi empat
yaitu :
-
Penggunaan
umpan beracun (racun perut)
Berdasarkan
cara kerjanya racun tikus dapat dibagi kedalam 2 macam :
-
Racun
akut
Bekerja
cepat dengan cara merusak sistem syaraf tikus (Arsenik trioksida, Bromethalin,
crimidine, alpha chloralose, ANTU, Norbornmide, red squill, dsb). Cocok
diterapkan pada saat populasi tikus tinggi.
-
Racun
kronis (antikoagulan),
Bekerja lambat dengan
cara menghambat proses koagulasi atau penggumpalan darah serta memecah pembuluh
darah kapiler (antikoagulan 1 : Warfarin, Fumarin, Courmachlor, dsb.
Antikoagulan 2 : Diphenacoum, brodifacoum, Flocumafen, Bromadiolone). Cocok
diterapkan pada populasi tikus yang tersisa setelah penerapan racun akut.
Secara umum perbedaan dua macam racun ini terdapat pada
penerapan di lapang dan efek pada tikus. Pada penerapan di lapang racun akut
membutuhkan umpan pendahuluan dan kebutuhan umpan yang beracun sedikit
sedangkan racun kronis tidak membutuhkan umpan pendahuluan, karena rekasinya
yang lambat maka dibutuhkan banyak umpan yang mengandung racun. Efek pada tikus
untuk racun akut adalah langsung membunuh tikus, dan jika tidak diberi umpan
pendahuluan dapat menyebabkan jera umpan. Pada racun kronis adalah membunuh
secara perlahan sehingga kadang tikus malah menjadi resisten terhadap racun
tersebut.
1.
Penggunaan
bahan fumigan (racun nafas)
Fumigasi adalah proses peracunan tikus beserta
ektoparasitnya dengan menggunakan gas beracun (fumigan). Fumigan ini berbahaya
bukan hanya bagi tikus tetapi juga bagi manusia dan hewan lain yang berada di
sekitar tempat fumigasi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum
melakukan fumigasi yaitu :
-
Fumigan
yang akan digunakan harus mempunyai berat molekul lebih dari 28 (berat molekul
N2 di udara).
-
Kelembapan
relatif udara di dalam sarang tikus harus tinggi dan ukuran partikel tanah yang
kecil sehingga gas beracun tidak keluar melalui celah-celah tanah.
Fumigan ini dapat berupa Hidrogen sianida (HCN), Karbon
monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), metil bromida (CH3Br),
Kloropikrin (CCl3NO2), Hidogen fosfosida (PH3).
Racun nafas juga dapat bibuat melalui pembakaran merang,
serabut kelapa, atau klaras daun pisang yang kadang-kadang ditambahkan belerang
sehingga menghasilkan gas CO, CO2, dan SO2. perbandingan merang dengan belerang
biasanya 13 : 1. Penggunaan racun nafas lebih baik pada saat tanaman memasuki
fase generatif karena induk tikus baru melahirkan dan menyusui anak-anaknya.
2.
Penggunaan
bahan kimia penolak (repellent) atau bahan kimia penarik (attractant),
Attractant merupkan bahan kimia penarik tikus agar tikus
mendekati umpan atau masuk perangkap. Attractant menarik tikus melalui bau yang
ditimbulkannya. Salah satu attractant yang memberikan hasil efektif adalah
penggunaan urine tikus betina yang memasuki fase estrus untuk menarik tikus
jantan.
3.
Penggunaan
bahan kimia pemandul (chemosterilant)
Bahan kimia pemandul merupakan bahan kimia yang
menyebabkan kemunduran reproduksi, baik secara permanen maupun sementara.
Contoh : mestranol, hexastrol, oestrogenic streroid, diosgenin. Dalam
penerapannya bahan-bahan kimia tersebut perlu menggunakan umpan pendahuluan
BAB
IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Kesimpulan yang
kami dapatkan adalah pengendalian hama merupakan upaya manusia untuk mengusir,
menghindari dan membunuh secara langsung maupun tidak langsung terhadap spesies
hama. Pengendalian hama tidak bermaksud memusnahkan spesies hama, melainkan
hanya menekan sampai pada tingkat tertentu saja sehingga secara ekonomi dan
ekologi dapat dipertanggungjawabkan. Falsafah pengendalian hama yang digunakan
adalah Pengelolaan/Pengendalian Hama Terpadu (PHT). PHT tidak pernah mengandalkan satu taktik
pengendalian saja dalam memcahkan permasalahan hama yang timbul, melainkan
dengan tetap mencari alternatif pengendalian yang lain.
Hama tikus
merupakan hama
tanaman yang sangat merugikan petani karena tikus
menyerang tanaman padi mulai dari masa persemaian sampai penyimpanan, memiliki
kemampuan reproduksi tinggi, daya adaptasi yang baik serta menyerang semua
bagian padi. Hama tikus
dikendalikan dengan PHT yang meliputi sanitasi lingkungan, pengendalian fisik
mekanis, pengaturan waktu tanam, konservasi dan pemanfaatan musuh alami,
penerapan pengaturan, serta pemanfaatkan bahan kimiawi
4.2
Saran
Saran yang dapat
diambil adalah bahwa semua hewan dikatan hama karna ambang batas populasinya
melunjak dan mengakibatkan kegurian, baik itu dalam teknik budidaya maupun
dalam kehidupan. Contohnya hama tikus, tikus harus benar-benar ditangani dengan
baik dikarenakan sangat merugikan bagi manusia. Semua pengendalian jangan
langsung menggunakan kimia karna masih ada mengendalikan hama tersebut tanpa
menggunakan bahan kimia. Bahan kimia adalah jalur terakhir apa bila hama
tersebut masih tidak bisa dikendalikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Oka, Ida
Nyoman. 2005. Pengendalian Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta
Priyambodo,
Swastiko. 1995. Pengendalian hama Tikus Terpadu. Penebar Swadaya. Jakarta.
Surachman,
Enceng dan Widodo Agus S. 2007. Hama Tanaman. Kanisius. Yogyakarta
https://id.wikipedia.org/wiki/Tikus_pohon
http://infohamapenyakittumbuhan.blogspot.co.id/2012/04/bentuk-bentuk-pengendalian-hama-tanaman.html
https://mangatonline.wordpress.com/2015/08/09/makalah-pengendalian-hama-tikus-secara-nabati/
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar